Minggu, 29 Mei 2016

Filled Under:

PEMBAHARUAN ISLAM

 
2.1 Pengertian Pembaharuan Islam
Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Dalam kosa kata Islam kata pembaruan digunakan kata tajdid yang berasal dari kata jadid. Kemudian terdapat berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaharuan yaitu modernisasi, reformisasi, revitalisasi, dan lainnya. Selain kata tajdid ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan” dan islah sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.
Pembaharuan berarti proses atau kegiatan memperbaiki supaya menjadi baru.  Hans Wehr mengartikan; renewal, creation of something new, innovation, reorganization, reform, modernization, renovation, restoration etc.  Jadi, seluruh kegiatan memperbaharui, menata kembali, dan mengubah disebut pembaharuan. Pembaharuan dalam Islam berarti pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka pembaharuan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaharuan Islam bukan dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar yaitu Al-Qur’an dan Hadis agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan. Maka dapat dipahami bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan sosial. Pokok- pokok pembaharuan Islam penting ditegaskan karena beberapa hal. Pertama, di tengah situasi zaman yang kian kompleks, kita tak cukup hanya bersandar pada pikiran-pikiran keislaman lama yang sudah tidak relevan dengan konteks zaman. Sebab, apa yang dirumuskan ulama terdahulu mungkin telah berhasil memecahkan masalah di masa lalu, tapi belum tentu terampil menyelesaikan masalah di masa kini. Kedua, di tengah berbagai usaha yang mengerdilkan Al-Qur’an, kita membutuhkan cara pandang baru terhadap Al-Qur’an. Ketiga, sejumlah orang hendak menjadikan Islam sebagai lading persemaian diskriminasi dan dehumanisasi. Kita menyaksikan kian tingginya diskriminasi terhadap perempuan, misalnya. Keempat, “perang” telah mendominasi diskursus umat Islam belakangan. 
Di Indonesia sebelum ide pembaharuan atang telah terlebih dahulu masuk gera2an pemurnian wahabiah di minangkabau. Ide wahabiah itu dibawa oleh haji-haji yang pulang dari mekah, diantaranya haji miskin. Gerakan wahabiah di minangkabau ini dalam sejarah Indonesia dikenal dengan gerakan padre melawan adat-istiadat minangkabau yang bertentangan dengan ajaran islam. Kaum adat maminta bantuan belanda dan akhirnya pecahlah perang padri dipermulaan abad ke 19.
    Ide-ide pembaharuan masuk ke Indonesia dipermulaan abad ke 20 melalui majalah al-imam yang diterbitkan di Malaysia oleh Said Muhammad Agil, Syekh Muhammmad Al-kalali dan Syekh Taher Jalaluddin. Yang tersebut akhir ini pernah meeruskan studi di Al-Azhar,Cairo. al-imam  mengandung ide-ide pembaharuan yang terdapat dalam majalah al-manar kepunyaan Rasyid Rida. Pengaruhnya kelihatan di padang tempat lahirnya majalah Al-munir di tahun 1911 M, dibawah asuhan H. Abdullah Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah dan H. Muhammad Taib.
    Di Jakarta jamiat khair yang didirikan tahun 1901 M mempunyai sekolah yang ke dalam kurikulumnya dimasukan bahasa ilmu pengetahuan barat. Siswanya kemudian dikirim ke Istanbul untuk meneruskan studi. Atas undangan perkumpulan ini datang ke Indonesia seorang ulama dari sudan bernama Syekh Ahmad Surkati. Ulama ini termasuk salah satu dari pengikut-pengikut Muhammad Abduh.
    Syekh Ahmad Surkati kemudian membentuk perkumpulan baru bernama al-islah wa al irsyad, yang juga mempunyai sekolah di Jakarta dan majalah Al-zakhirah. Di sekolah itu ide-ide pembaharuan dijalankan sedang Al-zakhirah menyiarkan ide-ide itu ke dalam masyarakat.
    Usaha yang dilakukan pembaharu- pembaharu diatas pengaruhnya terbatas. Pembaharu yang kemudian besar pengaruhnya dalam gerakan pembaharuan  di Indonesia adalah Kyai H. Ahmad Dahlan, bapak muhammadiyah yang didirikan pada di tahun 1912 M. melalui sekolah-sekolah muhammadiyah yang terdapat di seluruh pelosok tanah air, ide pembaharuan memasuki masyarakat umat islam Indonesia. Karena banyak dipengaruhi aliran Rasyid Rida, dalam pembaharuan muhammadiyah terdapat unsure-unsur dari ajaran pemurniah wahabiah. Selanjutnya pemuka-pemuka muhammadiyah yang berasal dari minangkabau sedikit banyaknya terpengaruh juda oleh aliran padre yang ada disana.
    Dalam sejarah pembaharuan di Indonesia tidak dapat dilupakan nama H. Agus Salim yang banyak mempunyai pengaruh pada golongan intelejensia islam Indonesia yang berpendidikan barat. Demikian juga Said Umar cokroaminoto dengan sarekat islamnya dan Hasan Bandung dengan persisnya. Nahdlatul Ulama, jami’atul Washilah dan lain-lain juga tidak dapat menutup pintunya terhadap ide-ide pembaharuan .
    Indonesia lebih banyak dipengaruhi ole hide-ide pembaharuan yang timbul di mesir daripada yang timbul di turki dan india, ialah karena bahasa arab merupakan bahasa internasional dunia islam. Sedang bahasa turki dan urdu tidak. Bahasa inggris yang dipakai  pembaharu- pembaharu india, dimasa yang lampau kurang dikenal di Indonesia. Disamping sebab tersebut diatas mesir berlainan dengan turkidan india, merupakan kiblat uamat islam untuk memperdalam ilmu pengetahuan keagamaan, Al-Azhar mempunyai pengaruh diseluruh dunia islam.
2.2    Perbedaan pembaharuan islam dengan modernisasi, reformasi, revitalisasi, rekonstruksi, reaktualisasi, dan reinterpretasi
A.    Modernisasi
Modernisasi adalah pengenalan artefak-artefak kehidupan masa kini ke dalam masyarakat, contoh : rel kereta api, komunikasi, industri, teknologi, dan peralatan rumah tangga.5 Modernisasi  merupakan proses yang mengarah pada modernitas, yang berawal ketika suatu masyarakat mulai mengambil sikap ingin tahu mengenai bagaimana orang membuat pilihan, baik itu pilihan moral, pribadi, ekonomi, maupun politik.6 Modernitas (modernisme) adalah pengertian umum mengenai proses kultural dan proses politis yang timbul dari upaya untuk mengintegrasikan gagasan baru, sistem ekonomi, atau pendidikan ke dalam masyarakat.7 Modernisme merupakan cara berpikir, cara hidup dalam dunia kontemporer, dan cara menerima perubahan.
Pada akhir abad kesembilan belas, munculah sebuah pemikiran Barat. Pemikiran Barat merupakan pemikiran materi-naturalis di mana puncaknya ialah imperialisme Barat terhadap negara negara Islam dan negara yang memiliki kekayaan alam di Asia dan Afrika demi kepentingan industri Eropa. Pemikiran materialis ini dasarnya mengagung-agungkan kekuatan materi, fenomena kemajuan dan interpretasi ekonomi terhadap sejarah manusia. Juga mempersempit peranan spiritualisme agama, kemanusiaan yang ideal dan moralisme religius. 8Pada abad tersebut, terdapat sebuah keyakinan bahwa modern adalah kemajuan dan milik orang Eropa (Barat) dan yang tradisional adalah tebelakang dan non-Eropa.9
Proses modernitas yang memuat berbagai macam pembaharuan-pembaharuan secara mendalam akan mempengaruhi gaya hidup masyarakat dan nilai-nila yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.10 Pembaharuan – pembaharuan tersebut sedikit demi sedikit akan mengikis nilai – nilai dalam masyarakat bahkan dapat menghilangkannya secara keseluruhan. Namun ada juga masyarakat yang sama sekali tidak terpengaruh dengan adanya pembaharuan – pembaharuan tersebut dan tetap mempertahankan gaya hidup tradisional.
Pembaharuan dalam Islam sangat Identik dengan modernisasi. Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh kaum intelektual muslim bertujuan untuk mengembangkan pandangan islam yang sesuai dengan pemikiran dan institusi-institusi modern, namun tetap berpijak pada tradisi dan dasar-dasar islam, demi pemurnian islam dan ketaatan pada Syari’ah (hukum). Persamaan Modernisasi dan Pembaharuan dalam Islam terletak pada kesamaan dalam hal bergerak ke arah yang lebih maju. Keduanya mengusung konsep transformasi dari keadaan yang kurang baik ke arah yang lebih baik dengan harapan terwujudnya tatanan masyarakat yang makmur.
Jamaluddin Al-Afghani, seorang aktivis yang merupakan guru dari Muhammad Abduh –salah satu tokoh pembaharu Islam-, mengemukakan bahwa islam harus aktif dan bersemangat. Islam, menurut Al-Afghani yang paling utama adalah sebuah keyakinan terhadap transendensi Tuhan dan akal, dan tugas manusia adalah menerapkan prinsip – prinsip Al-Qu’ran dalam cara yang baru untuk mengatasi masalah-masalah baru di zaman mereka. Kaum muslimin harus menerima kebutuhan akan perubahan yang bersandarkan pada prinsp – prinsip islam.11
Meskipun pembaharuan dalam Islam dan Modernisasi adalah hal yang relatif identik, namun keduanya memiliki perbedaan yang fundamental. Modernisasi adalah perubahan sosial yang apabila dirunut dari sejarah, pada mulanya modernisasi berporos pada Eropa dengan industrialisasi dan komersialisasi atau komodifikasi. Modernisasi lebih mengunggulkan kekuatan materi dan memperkecil makna spiritualisme atau kemusiaan yang ideal. Sedangkan pembaharuan dalam Islam adalah gerakan dari pemikiran para cendiki awan muslim untuk merespon segala dorongan – dorongan serta aspek – aspek dari luar yang mempengaruhi kehidupan umat muslim dengan tetap mengindahkan nilai – nilai islam.
Modernitas merupakan salah satu dorongan yang tidak dapat dihindari oleh umat Islam, sehingga banyak pemikiran – pemikiran intelektual muslim dalam menyikapi hal tersebut. Dalam hal ini, Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Islam seyogyanya menjadi basis moral dari masyarakat yang modern dan progesif, namun islam tidak dapat menyetujui semua yang dilaksanakan atas nama modernisasi.12 disamping itu ada pemikiran lain yang sangat keras menyikapi modernitas dan menolak segala hal yang berkaitan dengan kemajuan modern serta mengupayakan mengislamkan modernitas bukan memodernisasi Islam. Kesimpulannya, modernisasi merupakan perubahan dalam segala segala aspek yang terus meraksasa tanpa adanya aturan spiritual keagamaan, dan pembaharuan dalam Islam adalah perubahan dalam islam yang tetap mengindahkan nilai – nilai ajaran islam.
B.    Reformasi
Istilah reformasi atau pembaharuan disini diterjemahkan dari kata ishlah atau tajdid yang biasa digunakan dalam literatur islam modern. Namun, istilah tajdid lebih umum dipergunakan daripada istilh ishlah untuk maksud, baik pembaharuan ataupun reformasi yang sebenarnya dalam bahasa inggris keduanya dibedakan . Pengertiannya, memperbaharui sesuatu yang mengalami ketidaksesuaian dengan apa yang semestinya. Misalnya sesuatu itu tidak sesuai dengan tuntutan zaman atau dasar-dasarnya. Istilah tajdid yang berlaku di kalangan ilmuwan muslim diambil dari hadis Rasulullah, “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada satiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharui (yujaddidu) agamanya” (Abu Daud, Sunan, Kitab Al-Malahim: 109). Maksudnya, mempengaruhi pemahaman yang tidak cocok dan praktik keagamaan yang menyimpang. Dengan demikian, pembaharuan merupakan hal dalam kehidupan keagamaandan didasarkan syari’at. Di samping landasan syari’ah, usaha reformasi  atau bembaharuan tersebut dilakukan karena beberapa alasan. Sesuatu yang lama dinilai tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Kemungkinan lain karena faham-faham yang ada dianggap keluar dari  maksud teks yang sebenarnya. Karena itu, faham tersebut perlu diperbaharui , dalam arti dimurnikan. Sementara itu, ijtihad diartikan sebagai upaya keras untuk menggali hukum-hukum yang ada dalam teks agama, apakah upaya tersebut disebabkan oleh kedua kemungkinan di atas atau sebab munculnya suatu masalah baru yang belum ada status hukumnya secara implisit dalam teks. Dengan demikian, tujuan ijtihad adalah menentukan hukum-hukum untuk masalah-masalah yang baru muncul yang tidak terdapat dalam teks agama secara langsung. Dalam realitas sejarah, konsep dasar diaras mengalami perkembangan dan perbedaan. Untuk melihat perkembang dan perbedaan tersebut, ditampilkan tiga model pembaharuan dalam sejarah Islam yang masing-masing mempunyai konsep yang berbeda-beda.
Kelompok pertama, mengartikan bahwa tajdid adalah mengembalikan pemahaman-pemahaman dan praktik-praktik agama yang tidak sesuai dengan dasarnya yang otentik, kepada faham serta ajaran Islam yang benar sebagaimana zaman Rasulullah dan sahabatny (Busthami, 1984: 10-19). Metode yang dipakai dalam memahami teks-teks agama menggunakan metode tekstual atau literal, di mana lafadz-lafadznya diartiakan apa adanya meskipun hasilnya menurut kebanyakan orang bertentangan dengan kenyataan serta kebutuhan suatu zaman.
Kelompok kedua, mengartikan bahwa tajdid adalah reformasi (ishlah) atau modernoisasi (tahdits). Maksudnya, memperbaharui atau mengembangkan suatu pemahaman dan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan suatu zaman. Metode yang dipakai adalah metode rasional, di mana teks-teks agama dipahami secara rasional untuk diambil inti pesan-pesannya dan tidak terikat kepada lafadz-lafadznya, khususnya dalam aspek muamalah. Sedangkan untuk aspek ibadah, mereka menggunakan metode tekstual sebagaimana kaum salafi.
Adapun kelompok ketiga, memahami tajdid sebagai upaya atau usaha memperbaharui faham-faham lama yang dianggap lemah dengan cara memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan, ciri-ciri, dan inti yang lama (Qardlawy, 1986: 28). Konsep itu tampaknya berusaha menawarkan sesuatu yang baru dengan memkompromikannya dengan yang lama atau menarima dan menolak yang baru maupun yang lama secara kritis dan selektif
Berdasarkan perspektif di atas, kita melihat tiga model pembaharuan. Pertama, pembaharuan berati menghidupkan kembali tradisi pada masa Rasulullah secara totalitas. Teks wahyu dipahami secara tekstual. Sebagai konsekuensinya, rasio dalam kelompok ini kurang memperoleh tempat. Kedua, pembaharuan berarti menggantikan yang lama dengan yang baru (modern). Yang lama ditinggalkan karena tidak sejalan dengan zaman modern. Namun, yang ditinggalkan mereka bukan teks wahyu, tetapi pemahaman orang terhadap teks. Disamping itu, jika teks dalam Islam ada dua macam, yaitu qath’i dan zanny maka mereka hanya meninggalkan pemahaman lama teks-teks yang kedua. Sementara itu, terdapat jenis teks pertama, mereka tetap sepakat dengan pemahaman umum yang ada. Ketiga, pembaharuan berarti menyintesiskan antara yang lama dan yang baru (antara tradisi dan modernitas). Unsur lama yang baik dipertahankan dan unsur baru yang lebih baik dihadirkan. Teks diwahyukan dipahami secara tekstual dan konstektual. Rasio dan wahyu memperoleh tempat yang seimbang.
C.    Revitalisasi
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Revitalisasi Merupakan cara, proses, perbuatan menghidupkan kembali atau menggiatkan kembali 14 . Lebih jelasnya, Revitalisasi berarti suatu perbuatan untuk kembali menghidupkan suatu hal yang dulunya hidup  pada suatu masyarakat namun seiring dengan berjalannya waktu hal tersebut mulai terkikis dan bahkan menghilang. 
Revitalisasi merupakan salah satu konsep yang terdapat pada pembaharuan dalam Islam. Revitalisasi yang merupakan perbuatan menghidupkan kembali segala sesuatau yang mulai meredup sangat relevan dengan pembaharuan dalam islam, melihat bahwa pembaharuan dalam islam (salah satunya) dilakukan akibat dari kondisi Islam sekarang yang sangat jauh dari konsep Islam yang sebenarnya. Maka para mujahid merasa bahwa perlu adanya menghadirkan nilai – nilai islam yang pada era ini telah terkesampingkan, tentu saja hal ini merupakan tantangan yang berat. Pada zaman ini, proses menghadirkan nilai – nilai Islam yang sesungguhnya di kalangan kaum muslimin harus memperhatikan aspek – aspek budaya global yang telah bersatu dengan masyarakat saat ini.
Dalam agama islam, revitalisasi telah dipraktekkan sejak zaman dahulu. Pada masa Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w.505/111) sekitar seribu tahun yang lalu, revitalisasi telah dilakukan. Pada saat itu terdapat ancaman yang membahayakan eksistensi ilmu – ilmu agama (naqli) oleh ilmu – ilmu rasional (‘aqli) akibat dari munculnya aliran teologi rasional Mu’tazilah, maka dari itu Al-Ghazali melakukan revitalisasi ilmu – ilmu agama yang dirasa telah terkesampingkan oleh ilmu – ilmu rasional. Upaya yang dilakukan Al-Ghazali berhasil mengembalikan “titik tekan” ilmu kepada ilmu – ilmu agama dan mendegradasi disiplin ilmu filsafat dan ilmu – ilmu lainnya
Pada zaman sekarang, para cendikiawan serta intelektual muslim dituntut untuk segera melakukan Revitalisasi cahaya islam yang mulai memudar. Berbeda dengan tantangan filosofi yang dihadapi Al-Ghazali ratusan tahun yang lalu, kali ini kaum muslimin dihadapkan pada tantangan filsafat yang jauh lebih serius dan radikal. Tantangan filosofi yang dihadapi Al-Ghazali berasal dari para filsuf yang masih mempercayai hal-hal ghaib, sedangkan tantangan filosofi yang dihadapi kaum muslimin saat ini berasal dari para filsuf yang tidak mempercayai adanya hal-hal yang metafisik. Hal ini disebabkan oleh munculnya pandangan Positivisme Barat (ketidakpercayaan pada hal metafisik)  dan terus merajalela karena didukung oleh para ilmuwan di berbagai bidang, seperti astronomi, kesokteran, dan lain-lain, yang sangat diagung-agungkan umat pada saat ini, contohnya Darwin dengan teori evolusinya, Freud, dan Emile Durkhim. Para ilmuwan tersebut sangat mengagungkan akal dan rasionalitas sebagai satu-satunya kepercayaan mutlak. Freud, salah satu Ilmuwan dunia, mengatakan bahwa agama adalah ilusi dan agama berasal dari ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi daya-daya dari luar dan daya imajinatif dari dalam dirinya .
Tantangan filosofis yang begitu serius dan berbahaya terhadap bangunan metafisik, epistemologis, dan etis islam tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa respons, hal ini karena sebuah pemikiran akan dianggap benar selama tidak ada yang membantahnya. Maka kewajiban moral bagi cendikiawan muslim saat ini adalah untuk sedapat mungkin memberikan jawaban – jawaban yang seimbang atau kritis logis terhadap pendirian filosofis mereka. Tujuannya adalah agar keyakinan kita pada yang ghaib dapat terpelihara dengan baik dalam hati kita, dibawah naungan benteng filosofis yang tangguh dan tahan serangan16
Pembaharuan pemikiran Islam, dalam hal ini mengarah pada Revitalisasi nilai-nilai Islam yang semakin terkikis dan , dapat dilakukan dengan cara revitalisasi ilmu – ilmu rasional. Mengingat bahwa pada masa lalu ilmu-ilmu rasional pernah hilang eksistensinya dalam dunia Islam, maka di era ini revitalisasi ilmu-ilmu rasional perlu dilakukan  untuk melindungi kepercayaan agama dengan dan dalam sebuah benteng filosofis yang dibangun atas dasar – dasar logika yang handal. Berbeda dengan tujuan al-Ghazali dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (yaitu menghantam ilmu-ilmu rasional), revitalisasi ilmu-ilmu rasional kali ini justru  bertujuan untuk menguatkan dan melindungi kepercayaan agama dari serangan – serangan filosofis dan ilmiah yang dilancarkan pendukung filsafat positif-sekuler. Karena tantangan filosofis seperti hanya dapat dihadapi secara filosofis dengan argumen-argumen rasional yang solid dan sistematik, dan bukan dengan dogma-dogma religius17.
Penjelasan diatas merupakan bukti relevansi antara pembaharuan dalam islam dan revitalisasi, sementara perbedaan mendasar dari konsep revitalisasi dan pembaharuan Islam adalah terletak pada alasan dan tujuan daripada konsep tersebut. Lebih jelasnya, konsep revitalisasi, yang mengandung makna “menghidupkan kembali”, berlaku untuk seluruh aspek kehidupan tergantung dari sudut pandang mana pelaku relativitas ini memandang. Tidak menutup kemungkinan bahwa konsep revitalisasi sekuler (non-islam) dapat muncul menjadi bumerang, dan mengacaukan eksistensi agama Islam. Sedangkan pembaharuan dalam Islam adalah pemikiran – pemikiran berdasarkan dalil-dalil wahyu ilahi yang bertujuan untuk menghadirkan nilai – nilai Islam yang sesungguhnya dalam kehidupan umat manusia di seluruh alam.
D.    Rekonstruksi
Di era globalisasi sekarang ini, melakukan rekonstruksi pemikiran Islam akan sulit dilakukan. Namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan, bahkan sangat mungkin dilakukan. Hal ini karena nilai-nilai Islam yang universal tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang lahir dari rahim peradaban Barat. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar umat Islam secara mayoritas menyadari pentingnya rekonstruksi pemikirannya, sehingga proyek rekonstruksi ini tidak dilakukan hanya oleh individu-individu tertentu. Ia harus dilakukan secara bersinergi, simultan dan berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat Islam, bahkan oleh pihak penguasa (pemerintah), sebagaimana yang terjadi pada jaman kejayaan Islam di Baghdad dahulu di mana pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan bukan secara sporadis dan individual, tapi juga didukung oleh kalangan penguasa seperti para khalifah .  Dalam hal ini diperlukan upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keseluruhan akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang dan maju. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan keduniawian, khususnya iptek ini. Bahwa akhirat itu lebih kekal, dan oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh Sardar, hal ini diungkapkannya dengan istilah perluasan syari’ah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijaksanaan sains dan penaksiran teoknologi, partisipasi masyarakat dan pembangunan pedesaan18. Di sini, peran para da’i dan aktivis pendidikan sangat strategis di mana merekalah ujung tombak bagi sosialisasinya ide-ide rekonstruksi peradaban ini di tengah-tengah masyarkat luas.
Dalam melakukan upaya rekonstruksi peradaban Islam, ada enam hal penting yang perlu diperhatikan sebagai bahan  pertimbangan. Keenam hal ini secara ringkas adalah:
1.  Pembangunan peradaban dengan melihat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
2.  Pembangunan yang mencakup partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
3.  Pembangunan ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan negera-negara maju.
4.  Proses industrialisasi tidak boleh hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial tertentu dari negara-negara maju. Ia harus disertai dengan penguasaan teknologi.
5. Tidak semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrasktruktur sains dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM), ilmu pengetahuan, keahlian dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan mengadaptasi teknologi impor.
6.  Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains negara-negar. 19
Adapun persamaan antara pembaharuan dengan rekonstruksi adalah sama sama mengacu pada perubahan menjadi lebih maju yang signifikan tidak hanya dalam satu bidang tetapi dalam banyak bidang, perubahan yang tentunya diharapkan tidak hanya segenpa lapisan umat Islam tetapi segenap lapisan dan bahkan sampai kepada pemerinthan. Perbedaannya sendiri hanya terdapat pada konteks kalimanya saja karena sangat sulit membedakan antara keduanya.
E.    Reinterpretasi
Reinterpretasi adalah penafsirkan kembali (ulang); proses, cara, perbuatan menafsirkan kembali terhadap interpretasi yang sudah ada20
Reinterpretasi dapat dinilai sebagai kegiatan penafsiran kembali terhadap hukum hukum Islam atau ketentuan-ketentuan yang telah diterapkan sebelumnya. Penafsiran yang atau penelaahan kembali ini dilakukan dengan tujuan kembalinya pemahaman-pemahaman tentang islam yang belum berbur dengan budaya. Memurnikan ajaran-ajaran keislaman yang telah melebur kepada kulturisasi budaya masyarakat setempat.  Menurut Fazlur Rahman dalam jurnalnya yang berjudul Reinterpretasi Sumber Hukum Islam, dalam Abstrak dituliskan bahwa; membiarkan dua dimensi hukum Islam yakni teks dalil hukum dan fenomena hukum (waqi’at) dalam sifat dan konteksnya masing-masing, jelasakan menimbulkan kesenjangan atau perbedaan antara hukum dengan kenyataan hukum yang dihukumi; oleh karena itu Rahman dengan ijtihadnya menganggap perlu perubahan cara pandang dan penafsiran (reinterpretasi) atas sumber hukum Islam. Rahman membedakan antara Islam historis dan Islam normatif. Islam normatif adalah Islam par excellence, dalam kitab suci dan Sunnah Nabi sedang Islam historis adalah sebagaimana dipahami dan dipraktekan kaum Muslim. Islam historis inilah yang sering disebut Rahman sebagai tradisi Islam atau tradisi kaum muslim yang memungkinkan dilakukannya Revitalisasi21
Ide pemikiran pembaharuan Fazlur Rahman tentang perlunya metodologi baru dalam memahami teks Alquran dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Alquran, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965). Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan kembali penafsiran Alquran. Dalam kajian historisnya, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi Saw. dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyâs, terhadap sunnah ideal Nabi Saw. yang kemudian menjelma menjadi ijma atau sunnah yang hidup.
Akan tetapi, persoalannya terletak pada kemampuan kaum Muslim untuk mengkonsepsi Alquran secara benar. Fazlur Rahman menegaskan: “..bukan hanya kembali kepada Alquran dan sunnah sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal, pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Alquran dan sunnah22
Adapun persamaan reinterpretasi dengan pembaharuan adalah terletak pada acuan kepada penyegaran atau peningkatan pemahaman terhadap pemahaman-pemahaman Islam baik subjektif maupun objektif, sama sama mengandung maksud untuk membawa Islam menuju peradaban yang lebih maju seperti dengan merujuk kepada perkembangan bangsa eropa. Reinterpretasi sendiri lahir karena adanya keinginan umat manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya untuk melakukan pembaharuan. Perdedaannya sendiri sulit untuk diidentifikasi karena sangat eratnya kesamaan redaksi kalimat antara reinterpretasi dan pembaharuan, perbedaan yang dapat ditangkap oleh penulis adalah bahwa pembaharuan adalah hal yang sudah ada kemudian dibuat menjadi lebih mengikuti zaman atau lebih terbaru sedangkan rainterpretasi adalah dilakukannya penafsiran kembali terhadap pandangan-pandangan tentang keislaman sehingga lahir definisi yang baru.
F.    Reaktualisasi
Menurut KBBI, reaktualisasi adalah proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali, penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Reaktualisasi merupakan salah satu metode yang diusung dalam pembaharuan Islam.
Sejak kemunculan Renaissance pada abad pertengahan, cara hidup dan cara pikir umat manusia mulai berubah. Sehingga berdampak pada terciptanya kehidupan yang hanya mementingkan kepentingan dunia.Renaissance juga merupakan gerbang baru lahirnya peradaban modern. Hadirnya sains modern telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap umat manusia, bukan hanya bukan bidang ekonomi, politik, sosial, namun juga dalam bidang filsafat dan agama. Umat islam pun tidak luput dari pengaruh renaissance tersebut. Menghadapi rasionalitas ilmiah modern dan permasalahan-permasalahan yang bersifat universal, berbagai khazanah pemikiran islam sudah saatnya untuk disegarkan dan dibangun kembali, dengan kata lain perlu diadakannya reaktualisasi khazanah islam yang telah semakin terpendam oleh nilai-nilai baru yang muncul dalam masyarakat.
Contoh diatas merupakan gambaran tentang relevansi antara pembaharuan dalam islam dan gerakan reaktualisasi. Sedangkan perbedaan mendasarnya terletak pada penggunaan konsep reaktualisasi itu sendiri, mengingat reaktualisasi bukanlah konsep yang berasal dari ajaran Islam. Konsep “reaktualisasi” pernah dilakukan oleh orang non-muslim terdahulu untuk menyegarkan nilai-nilai kehidupan mereka dan bangkit dari lingkar kemunduran yang disebabkan oleh dominansi gereja, yaitu pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Akhirnya, reaktualisasi nilai-nilai kehidupan yang dilakukan pada zaman tersebut melahirkan sebuah pemikiran baru yang secara umum berisi tentang keutamaan kehendak manusia, manusia berhak merubah nasib dengan ikhtiar yang maksimal dan satu-satunya pembimbing yang sempurna dan mutlak untuk menuju kearifan dan kebijaksanaan adalah  akal manusia. Namun akibat dari pembaharuan nilai tersebut, hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan menjadi tersingkirkan dan tidak dianggap sesuatu yang sakral. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang berpegang teguh pada keyakinan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.
2.3 Latar Belakang Pemikiran Dan Pembaharuan Islam
Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan dan latarbelakan berbeda-beda dalam setiap periode sejarah Islam. Sejarah Islam dapat dibagi ke dalam 3 periode, yaitu:
A.    Periode klasik (650-1250M)
Periode ini dimulai dari masa Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, sampai Bani Abbasiyah. Pada periode ini pembaharuan dalam Islam sudah nampak, yaitu pemikiran para sahabat mengenai hukum-hukum dalam Islam yang belum terdapat pada Al-Quran dan As-Sunnah. Contohnya : ijtihad para sahabat dalam pembukuan Al-Quran pada masa Khalifah Abu Bakar dan pembukuan Hadits.
B.    Periode Pertengahan (1250-1800M)
1.    Kerajaan Utsmani
Pada periode pertengahan, telah muncul pemikiran dan usaha pembaharuan Islam dikerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi usaha itu gagal karena ditentang golongan militer dan ulama. Pada abad ke-17, kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan dalam peperangan dengan Negara Eropa. Kekalahan itu mendorong raja dan pemuka kerajaan Usmani untuk menyelidiki sebab-sebabnya. Kemudian diketahui bahwa penyebabnya adalah ketertinggalan mereka dalam teknologi militer. Orang-orang Eropa yang dahulu dianggap sebagai kafir  dan rendah sekarang mulai di hargai. Mereka selidiki pula rahasia keunggulan Barat. Mereka temukan bahwa rahasianya adalah karena Barat memiliki sains dan teknologi tinggi yang diterapkan dalam kemiliteran.
Karena itulah, pada 1720, kerajaan Usmani mengangkat Celebi Mehmed sebagai utusan kerajaan untuk berangkat menuju ke Paris. Dia bertugas mempelajari benteng-benteng pertahanan, pabrik-pabrik, serta institusi-institusi Perancis lainnya. Laporan Celebi Mehmed tertuang dalam bukunya, seferetname. Di tahun 1741 said mehmed dikirim pula ke Perancis  sehingga laporan tersebut menarik perhatian Sultan Ahmad III untuk memulai Pembaharuan di Kerajaan Usmani .
Usaha pembaharuan itu mendapat tantangan dari dua golongan. Tantangan pertama datang dari tentara tetap yang disebut Yanissary (Pasukan Baru). Yanissary mempunyai hubungan erat dengan Tarekat Bektasyi yang berpengaruh besar dalam masyarakat. Tantangan selanjutnya datang dari pihak ulama. Ide-ide baru yang didatangkan dari Eropa itu dianggap bertentangan dengan paham tradisional yang dianut masyarakat Islam ketika itu. Karena itu, usaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani tidak berhasil seperti yang diharapkan.
2.     India
Sebelum periode modernisasi, muncul juga ide dan usaha pembaharuan. Pada awal abad ke-18, kerajaan mogul memasuki zaman kemunduran. Perang saudara untuk merebut kekuasaan sering terjadi. Golongan hindu yang merupakan mayoritas masyarakat dalam negara tersebut, ingin melepaskan diri dari kekuasaan mogul. Selain itu, inggris juga telah mulai memperbesar usahanya untuk memperoleh daerah kekuasaan di India pada tahun 1757 .
Suasana itu menyadarkan para pemimpin Islam India akan kelemahan umat Islam. Salah seorang yang menyadari hal itu ialah Syah Waliyullah (1703-1762) dari Delhi. Ia berpendapat Salah satu penyebab kelemahan umat Islam ialah perubahan system pemerintahan dari system khilafah ke system kerajaan. System pertama bersifat demokratis, sedang system kedua bersifat otokratis. Karena itu system ke Khalifahan seperti pada masa al- Khulafa al-Rasyidun perlu dihidupkan kembali.
Perpecahan semakin panjang di kalangan umat Islam bebrapa faktor yang membuat kekacauan tersebut ialah perbedaan Madzhab antara Islam Sunny dan Syiah selain perbedaan antara madzhab, masuknya adat istiadat dan ajaran-ajaran yang bukan dari islam ke dalam keyakinan umat Islam.
3.    Arab
Pembaharuan islam di Arab bisa dikatakan pelopornya adalah Mohammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Menurut Wahab, penyebab kelemahan umat Islam saat itu ialah tauhid umat Islam yang tidak lagi murni bukan masalah politik yang ada di dalam kerajaan Utsmani dan Mughol. Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran tarekat. Tarekat menurut Muhammad bin Abdul Wahab, mengajarkan pemujaan kepada syekh dan wali. Umat Islam menunaikan haji dan meminta pertolongan kekuburan-kuburan syekh dan wali itu. Karenanya, semua hal itu harus dihilangkan karena tidak sesuai dengan ajaran-ajaran yang berlaku dalam agama islam. Ia juga menganjurkan ijtihad. Inti pemikirannya adalah al-Quran dan hadislah sumber ajaran Islam, taqlid kepada ulama tidak dibenarkan dan pintu ijtihad tidak tertutup .
C.    Periode Modern (1800M-Sekarang)
     Usaha pembaharuan dalam periode ini dimulai oleh Muhammad Ali   Pasya, seorang perwira Turki. Muhammad Ali Pasya berkeyakinan bahwa ketinggian dan kemajuan Eropa didasarkan atas kekuatan militernya dan dibelakang kekuatan militer pasti ada kekuatan ekonomi yang sanggup mempelajari biaya pembaharuan dalam lapangan militer. Untuk mendapatkan para ahli-ahli yang mumpuni pada bidang militer dan ekonomi, maka ia mendatangkan para ahli dari Eropa, mendirikan sekolah-sekolah, dan mengirimkan pemuda-pemuda Mesir belajar ke Eropa.
    Hal ini mempercepat perkembangan dan gerakan pembaharuan di Mesir. Salah satu pemikir pembaharuan islam di zama ini adalah At-Tahtawi. Salah satu pemikiran Al-Tahtawi adalah Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal akhirat tetapi juga soal hidup di dunia. Umat Islam harus mementingkan hidup duniawinya.
    Pemikir pembaharuan Islam pada periode modern ini selanjutnya adalah Muhammad Abduh (1849-1905M). Ia berpendapat bahwa islam yang dianut umat bukan lagi Islam yang sebenarnya. Inilah salah satu kemunduran umat Islam. Untuk dapat maju lagi umat Islam harus kembali kepada Islam sejati, Islam dipraktekkan di Zaman Klasik. Ia berpendapat bahwa Islam adalah agama yang rasional. Wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan pendapat akal. Ia juga menentang sifat jumud atau statis yang terdapat dalam kalangan umat Islam. Sifat jumud membuat mereka berhenti berpikir dan berusaha. Umat Islam harus memiliki sifat dinamis.
    Pemikir pembaharuan Islam selanjutnya aalah Rasyid Ridha (1865-1935M). Ia merupakan murid dan pengikut Muhammad Abduh. Ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan karena umat muslim tidak lagi menganut Islam yang murni dan untuk mengetahui Islam murni, orang harus kembali kepada Al-Quran dan hadits. Ajaran Islam tidak membawa kepada kepasifan, tetapi sebaliknya kepada dinamisme. Pembaharuan harus juga memasuki lapangan fikih.
D.    Perkembangan Islam Pada Masa Modern pada Berbagai Bidang
1.    Pada Bidang Akidah
Salah satu pelopor  pembaharuan adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari Nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang di kemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhidyang terdapat di kalangan umat Islam pada saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas didunia Islam
Oleh  karena  itu,  tidak  mengherankan  apabila  Muhammad  Abdul  Wahabmemusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiransebagai berikut :
a.  Yang harus disembdari Nya telah dinyatakan sebagai musrik
b. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang
    sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada
   Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang
   Islam yang berperilaku demikian jugadinyatakanj sebagai musyrik
c. Mendekatkan syirik
d.  Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syirik
e.  Bernazar kepada selain Allah juga merupakan syirik
f.  Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran
2.    Pada Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah salah satu hal yang sangat penting bagi ummat islam . Oleh karena itu, Islam menghendaki manusia menjalankan kehidupan yang didasarkan rasionalitas atau akal dan iman. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak memberi tempat yang lebih tinggi kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan, Islam pun menganjurkan agar manusia jangan pernah merasa puas dengan ilmu yang telah dimilikinya karena berapa pun ilmu dan pengetahuan yang dimiliki itu masih belum cukup untuk dapat menjawab pertanyaan atau maslah yang ada di dunia  ini. Seperti dalam Firman Allah SWT,
“ Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta,ditambahkan kepada tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi MahaBijaksana ” (QS Luqman : 27)
3.    Pada Bidang Kebudayaan
 Didunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1798dan semakin  meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau dibawah pengaruh Eropa.akhirnya serangkaian kekalahan berjalan hingga memuncak dengan jatuhnya dinasti Usmani di Turki.
Kebudayaan  Turki  merupakan  perpaduan  antara  kebudayaan  Persia, Bizantium, dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak menerima ajaran-ajaran  tentang  etika  dan  tata krama  kehidupan  kerajaan  atau  organisasi pemerintahan. Prinsip kemiliteran mereka dapatkan dari Bizantium, sedangkan dariArab, mereka mendapat ajaran ajaran tentang prinsip ekonomi, kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan .
2.4  Tokoh- Tokoh Pembaharu Islam dan Manfaatnya Bagi Kemajuan Umat Islam.
A.    M. Ibn Abd al-Wahhab dan Gerakan Wahabiyah
Muhammad ibn Abd al-Wahhab lahir di Uyaynah, Nejd, pada tahun 1703 M (1115 H). Sejak kecil ia telah belajar Al-Qur’an pada ayahnya, dan sebelum berusia 10 tahun ia sudah hafal seluruh isi Al-Qur’an. Pengetahuan dasar diperolehnya di kampungnya sendiri dari tokoh-tokoh mahzab Hambali.23 Sebagian usianya ia habiskan untuk mencari ilmu. Pada saat masa pencarian ilmu ia menyadari ada perbedaan mencolok antara apa yang diajarkan oleh hadis dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. 24
Semenjak abad ke 13 umat Islam banyak mengalami kemunduran di berbagai bidang, seperti bidang agama, sosial, dan intelektual. Pengaruh tarekat dan animisme berkembang semakin pekat. Di kalangan tarekat terdapat keyakinan bahwa guru, syaikh dan wali dianggap pempimpin yang bukan saja mengawasi kehidupan lahir murid-muridnya tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi25. Hal ini membuat penghormatan kepada syaikh dan wali menjadi sangat berlebihan. Makam wali dianggap sebagai tempat keramat untuk mereka meminta pertolongan sebagai perantara dari Allah SWT. Selain pengaruh tarekat, terdapat pula pengaruh animisme pada umat Islam dengan menyembah benda mati pada abad ke 13. Dalam karyanya Kasyf al-Syuhbat dikatakan bahwa tauhid adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lidah, dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang dari satu saja dari unsur di atas, maka seseorang tidaklah termasuk orang Islam.26
Dalam keadaan masyarakat seperti ini, pada pertengahan abad ke 18, di Jazirah Arab muncul suatu gerakan yang berusaha memurnikan ajaran Islam dengan semboyan kembali kepada Islam yang asli seperti yang dianut dan dipraktikan di zaman nabi, sahabat, serta tabi’in sampai abad ketiga hijiriah.27 Gerakan ini terkenal dengan nama “Gerakan Wahabi” yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab.Gerakan Wahabi kemudian disebarkan keseluruh pelosok dunia dengan mayoritas penduduk muslim. Pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab mempunyai pengaruh yang besar pada  perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke Sembilan belas. Pemikirannnya yang berpengaruh tersebut adalah :
1.    Hanya Al-Qur’an dan hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2.    Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3.    Pintu ijtidah terbuka dan tidak tertutup.28
B.    Napoleon Bonaparte
Napoleon Bonaparte adalah seorang tokoh dunia yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Hingga Michael H. Hart menempatkan namanya pada urutan ke -34 dalam jajaran tokoh-tokoh dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah.29 Napoleon Bonaparte, seorang jenderal berkebangsaan Perancis, sebagai konsul yang pertama kemudian bertahta sebagai seorang Kaisar Perancis, telah melakukan berbagai reformasi yang sampai sekarang masig menjadi kenangan di institusi-institusi di Perancis dan juga Eropa Barat.
Setelah masuk abad ke-18, dunia Islam benar-benar mengalami kemunduran yang sangat parah dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan agama. Ketika dunia Islam mundur, Eropa mulai menata dirinya. IPTEK dan perekonomian semakin maju hingga pengembangan ekonomi berubah menjadi penetrasi politik. Dunia Timur yang mengalami kemunduran, dengan mudah ditaklukan oleh Eropa pada saat itu. Hingga pada tahun  1798, Napolen Bonaparte mengadakan eskpansi ke Mesir. Mesir, kota yang sangat strategis itu berhasil dikuasainya meskipun dalam waktu yang singkat. Ekspedisi ini menghasilkan suatu dampak bagi umat Islam di Mesir dengan menyadarkan kemunduran yang dialami umat Islam dan berusaha merebut kembali kejayaan yang pernah dicapai. Ekspedisi ini meninggalkan peninggalan yang merubah pemikiran umat Islam. Contoh adanya lembaga ilmiah yang diberi nama institute d’Egypte dan percetakan dan penerbitan Bulaq (Mathba’ al-Bulaq) yang didirikan Napoleon di Mesir yang membuka mata para penduduk Mesir tentang dunia penerbitan.30  Selain bentuk fisik dari peninggalan Napoleon Bonaparte terdapat pula ide-ide yang berkembang dan membuka fikiran umat Islam, seperti pengenalan sistem pemerintahan republik yang diperkenalkan olehnya. Hasil ekspedisi ini pada akhirnya memunculkan tokoh-tokoh pembaharu Islam yang ingin memajukan kembali Islam seperti masa kejayaannya seperti Muhammad Ali dan Rifa’ah al-Tahtawi.
C.    Jamaluddin al-Afghani
Sejak abad ke XVII umat Islam berada pada masa kemunduran. Kondisi ini meminta para raja dan pemuka agama untuk membangkitkan Islam yang dahulu pernah berjaya. Salah satu cendekiawan itu adalah Jamaluddin al-Afghani. Dia merupakan seorang pemimpin pembaharuan dan pemimpin politik di masanya. Tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu Negara Islam ke Negara Islam lainnya, sehingga pemikiran dan pembaharuan politik yang dibawanya cepat merambah hampir ke seluruh dunia Islam. Jamaluddin al-Afghani berkeyakinan untuk memajukan umat Islam haruslah terlebih dahulu menghapus pengertian-pengertian salah yang dianut umat Islam diluruskan kembali pada ajaran yang sebenarnya. Untuk itu menurut Afghani umat Islam harus menyesuaikan dengan perkembangan yang ada dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an. Maka dari itu ia berfikiran bahwa ijtihad masih tetap terbuka.31 Afghani yang berkecimpung di bidang politik juga mengubah sisstem pemerintahan yang bersifat absolut menjadi sistem demokrasi.  Ia juga melontarkan ide pan-islamisme untuk mengeluarkan rasa solidaritas umat Islam yang mempunyai rasa tanggung jawab di mana setiap anggotanya memiliki rasa kebersatuan sehingga dapat hidup berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraanm kemajuan, dan kemakmuran. 32 Afghani mendirikan Al-Urwah Al-Wutsqa pada saat ia di Paris yang bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan antar sesama muslim yang beranggotakan Muslim dari berbagai macam Negara.
D.    Muhammad Rasyid Rida
Rasyid Rida lahir pada tanggal 23 september 1865 M di suatu desa di Lebanon. Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, ia memakai gelar Sayyid di depan namanya. Pemikiran – pemikirannya banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa.  Ide-ide yang dilontarkan Rasyid Rida mencakup system pemerintahan, system pendidikan dan agama. Tahun 1898, Rasyid Rida pindah ke Mesir karena ide pembaharuannya di negeri kelahirannya, Suria, mendapat tentangan dari kerajaan Utsmani. Kemudian ia menerbitkan majalah al-Manar yang bertujuan sama dengan majalah al-Urwat al-Wutsqa dan menyebarkan artikel-artikel yang dikarang oleh Muhammad Abduh dan orang lain. Pada tahun 1912 setelah sebelumnya ia gagal mendirikan sekolah Instambul, Rasyid Rida berhasil mendirikan sekolah yang diberi nama Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad.  Menurutnya membangun sekolah lebih bermanfaat dibanding membangun masjid namun hanya diisi orang-orang tak berilmu. Karena dengan membangun madrasah, kebodohan dapat dihapus dan akan memberikan kemajuan duniawi dan ukhrawi bagi uma, satu-satunya jalan menuju kemakmuran adalah perluasan pendidikan secara merata. 
Pembaharuan Rasyid Rida dalam dunia politik sama dengan Jamaluddin-al-Afhgani, ia juga melihat perihal dihidupkan kembali kesatuan umat Islam. Kesatuan yang dimaksudkannya bukan kesatuan didasarkan atas kesatuan bangsa atau bahasa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Negara yang dianjurkan oleh Rasyid Rida ialah dalam bentuk kekhalifahan. Khalifah adalah kepala khilafah tetapi tidak memerintah, dia berfungsi menciptakan undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Khalifah haruslah mujtahid dan dengan bantuan ulama menerapkan prinsip-prinsip Islam sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri dan mampu memberlakukan undang-undang yang dihasilkan tersebut. Ia menganjurkan membentuk organisasi al-Jami’iyah al-Islamiyah di bawah  naungan khalifah, berdasarkan prindip persaudaraan Islam yang menghapusb ikatan-ikatan rasial dan menyusun persatuan segenap kesatuan muslimin dalam satu komunitas. 
E.    Mustafa Kamil
Mustafa Kamil adalah anak seorang insinyur kaya yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1874 di Kairo. Ia memasuki Fakultas Hukum di Prancis tahun 1981 dan memperoleh ijazah Sarjana Hukum dari Universitas Toulouse.  Setelah menyelesaikan pendidikannya ia mengadakan perjalanan yang luas sekali di Eropa untuk mensosialisasikan gagasan mengenai perjuangan kemerdekaan Mesir.

Copyright @ 2013 studis .