Minggu, 29 Mei 2016

Filled Under:

TOKOH TOKOH ISLAM



1.      Tokoh Teolog
A.    washil bin atha
·         Biografi
Nama Washil bin Atha sering juga disebut Abu Huzhaifah dan lebih terkenal dengan gelar al-Gazzal. Ia dilahirkan pada tahun 80 H di Madinah dan meninggal dunia pada tahun 131 H di Bashrah.
Sejak kecil, Washil bin Atha sudah memperlihatkan kesungguhannya dalam mengkaji al-Qran, Hadis Nabi, dan ilmu-ilmu lain. Pada mulanya ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Selanjutnya, ia banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekah dan mengenal ajaran Syi’ah di Madinah. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashriy.
Washil bin Atha termasuk murid yang cerdas dan berani di antara sekian banyak murid Hasan al-Bashriy. Ia tidak segan-segan berbeda pendapat dengan siapa pun juga, sekalipun membawa dampak harus berpisah dengan orang yang dicintainya, yaitu gurunya, Hasan al-Bashriy, lantaran perbedaan pandangan dengannya mengenai pelaku dosa besar. Setelah itu, Washil bin Atha membentuk majlis tersendiri dan mendapat pengikut yang pesat dalam waktu yang singkat.
Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Washil bin Atha banyak mengalami tantangan dan hambatan yang datang silih berganti dari kalangan masyarakat awam, karena mereka sulit menerima ajaran yang bersifat rasional dan filosofis. Selain itu, ajaran Washil tersebut dinilai oleh masyarakat awam sebagai ajaran yang tidak berpegang pada sunnah Rasullah saw. dan para sahabatnya. Namun, Washil memperoleh dukungan dari kalangan intelektual dan juga penguasa Abasiyah, yaitu pada masa pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), bahkan ajaran Washil bin Atha itu dinyatakan sebagai mazhab resmi negara.
·         Karya-karyanya
1)   Kitab Ashnaf al-Murji’ah
2)   Kitab At-Taubah
3)   Kitab Al Manzilah Bain al-Manzilatain
4)   Kitab Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar-Ra’y
5)   Kitab Ma’ani al-Quran
6)   Kitab Al-Khithab Fi at-Tauhid Wa al-’Adl
7)   Kitab Ma Jara Bainahu Wa Baina Amr Bin Ubaid
8)   Kitab As-Sabil Fi Ma’rifati al-Haq
9)   Kitab Fi ad-Da’wah
10) Kitab Thabaqat Ahli al-Ilmi Wa Ghairi Dzalik
·         Pemikirannya
Washil bin Atha' dikenal sebagai pendiri Mu'tazilah yang terkenal dengan pendapatnya mengenai Manzilah baina al-Manzilatain, namun demikian pandangannya mengenai perbuatan manusia cukup menyita banyak perhatian. Pandangannya mengenai perbuatan manusia telah diperjelas oleh para pemimpin mu'tazilah setelahnya. Pandangannya juga telah memunculkan berbagai pemikiran kalam mengenai perbuatan manusia dari berbagai aliran kalam lainnya.
Pandangan Washil mengenai kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sanagtlah menarik untuk dipertautkan dengan pendidikan yang memiliki konsep membimbing dan mengarahkan manusia.


B.     Abul Hasan Al-Asy'ari
·         Biografi
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dilahirkan pada tahun 260 H di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad,  Awal mulanya Al-Asy'ari mengikuti Madzhab Mu'tazilah yang diajarkan oleh ayah tirinya yaitu Imam Ali Al-Jubba'i Al-mu'tazili. Bahkan Al-Imam Al-Asy'ari sering menggantikan ayah tirinya untuk menghadiri Majelis perdebatan, dan semua orang mengakui kecerdesannya dan ilmunya. Sampai pada umur 40 tahun Al-Imam Al-Asy'ari menjadi Imamnya Mu'tazilah akhirnya Al-Imam Al-Asy'ari keluar dari Madzhab Mu'tazilah dikarenakan muncul sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ayah tirinya yaitu Ali Al-Jubba'i.
Al-Imam Asy'ari keuar dari Madzhab Mu'tazilah yang katanya Madzhab Mu'tazilah selalu mendahulukan/mengunggulkan Rasio (akal).
Dan sekarang cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20.
·         Karya-karyanya
1.      Maqalat al-Islamiyyin
2.      Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah
3.      Al-Luma
4.      Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyā
5.      Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi')
6.      Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān
7.      Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-Millah
8.      Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah
9.      Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām
10.  Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā
11.  Kitāb al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām
12.  Kitāb al-Imāmah
13.  At-Tabyin 'an Ushuli ad-Din
14.  Asy-Syarhu wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-Tadhlil
15.  Al-'Amdu fi ar-Ru'yah
16.  Kitāb al-Maujiz
17.  Kitāb fi Khalqi al-A'māl
18.  Kitāb ash-Shifāt
19.  Kitāb ar-Radd 'ala al-Mujassimah
20.  An-Naqdh 'ala al-Jubbā'i

·         Pemikirannya
a.       Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di jelaskan secara alegoris.
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b.       Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah  yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.       Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.
d.      Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat  (Q.S. An-Nahl:40)
e.       Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.        Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.[21]
g.      Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[22] Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
C.     Ibnu Taimiyah
·         Biografi
Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja, lahir 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H – wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H, adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.
Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 667 H/1268M), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir. Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
·         Karya-karyanya
1. Majmu’ Al-Fatawa (disusun oleh Ibnu Al-Qasim)
2. Dar`u At-Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql
3. Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah
4. Naqdhu At-Ta`sis
5. Al-Jawaab Ash-Shahih liman Baddala Diin al-Masiih
6. Ar-Radd ‘ala Al-Bakrie (Al-Istighatsah)
7. Syarah Hadits An-Nuzul
8. Syarah Hadits Jibril (Al-Iman Al-Ausath)
9. Kitab Al-Iman
10. Al-Istiqamah’
11. As-Siyasah Asy-Syar’iyah
12. Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim
13. Al-Fatawa Al-Kubra
14. Majmu’ah Ar-Rasaa`il Al-Muniriyah
15. Majmu’ah Ar-Rasaa`il al-Kubra
16. Fatawa Al-Hamawiyah
17. At-Tis’iniyah
18. Syarah Al-Ashfahaniyah
19. At-Tadmuriyah
20. Al-Wasithiyah
·         Pemikirannya
Metode berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya Majmu’ al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini, nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadith.
Setiap ahli fiqh dari keempat imam madzhab yang sudah kita kenal, masing-masing mempunyai dasar-dasar pokok sebagai sandaran dan tempat kembalinya di dalam pengambilan hukum. Ibnu Taimiyyah bukanlah imam madzhab yang mempunyai dasar-dasar pokok, sebagaimana keempat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Hukum-hukum fiqh yang ia istinbatkan bersandar kepada imam madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin Hanbal. ushul fiqh yang mewarnai fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut
1.      Kitab dan Sunnah
Al-Qur'an dan hadith merupakan sumber utama dari pengambilan hukum Islam. Mengenai hadith, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi tiga macam:
Pertama: Sunnah Mutawatirah, yaitu sunnah Rasul yang menafsirkan al-Qur'an dan tidak bertentangan dengan dhahirnya. Misalnya, mengenai jumlah shalat fardhu dan rakaatnya sehari semalam, ukuran nisab zakat, manasik haji, dan lain sebagainya.    
Kedua: Sunnah Mutawatirah tetapi tidak menjadi tafsiran dari al-Qur'an, atau yang pada dhahirnya bertentangan dengannya, tapi membawa hukum baru, seperti hadith-hadith yang mendatangkan hukum baru yang tidak terdapat dalam nash, tapi tidak bertentangan pada dhahirnya. Misalnya, nisabnya mencuri, rajamnya bagi pezina, dan lain sebagainya. 
Ketiga: khabar ahad yang sampai kepada kita melalui riwayat-riwayat yang kuat (thiqa>t) dari riwayat-riwayat yang kuat pula. Ibnu Taimiyyah menganggap ini sebagai hujjah atau salah satu dalil pokok dari ushul fiqh.
Ibnu Taimiyyah benar-benar memperhatikan sunnah dan mengamalkannya sebaik mungkin jika ia shahih, meskipun hadith itu berupa khabar ahad. Menurut Ibnu Taimiyyah, menolak hadith tersebut berarti menentang keumuman al-Qur'an  maupun dhahirnya. Pendapat ini senada dengan Abu Hanifah, dan Imam Malik yang juga menambahkan bahwa menolak hadith tersebut berarti menentang praktek penduduk Madinah.
2.      Ijma'
Ijma' yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan oleh ulama'-ulama' selain mereka keabsahannya diragukan. Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Mengenai ijma' yang datang setelah para sahabat ini, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa jika para ulama' ijma' atas suatu hukum, maka tak seorang pun boleh keluar dari ijma' itu karena suatu umat tidaklah berijma' atas sesuatu kesesatan. Namun Ibnu Taimiyyah tak berhenti sampai di situ, ijma' itupun harus mempunyai sandaran kembali dari nash al-Qur'an dan hadith. Ijma' yang seperti inilah yang dia anggap patut dijadikan salah satu hujjah atau dalil hukum.
Bagaimana jika terjadi pertentangan antara ijma' dengan nash yang datang dari Rasulullah, apakah ijma' itu yang diambil dan menjadi nasikh bagi nash? Atau mengambil nashnya dan meninggalkan hukum yang berdasar ijma'?.
Menurut Ibnu Taimiyyah mustahil ada ijma' yang bertentangan dengan nash Rasul. Jika memang ada nash yang bertentangan dengan ijma' maka di samping ijma' itu pasti ada nash lain yang menerangkan penghapusan nash yang pertama.
Dalam kitab Ma'a>rij al-Wus}u>l, Ibnu Taimiyyah menerangkan bahwa sunnah tidak pernah menasakh hukum yang telah ditetapkan al-Qur'an, sebagaimana sunnah tak pernah dinasakh oleh ijma'.
3.      Qiyas
Qiyas yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang sesuai dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat dalam pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh Rasulullah serta menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat ada sahabat yang melakukannya.
Dalam risalahnya, Ibnu Taimiyyah menerangkan tentang qiyas yang benar, bentuk dan syarat yang harus dimiliki dan didapat dalam qiyas itu, yaitu:
a.       'Illat hukum tasyri' yang terdapat dalam asal harus juga ada di dalam cabang (furu'), tanpa ada pertentangan dalam cabang yang menjadi penyebab terlarang penentuan hukum 'illah itu.
b.      Qiyas dengan pembatalan pembeda antara dua bentuk itu (asal dan cabang). Antara keduanya, asal dan cabang tidak boleh ada pembeda yang mempengaruhi syara'.
Menurut Ibnu Taimiyyah, qiyas yang shahih adalah qiyas yang sejalan dengan nash. Nash tak pernah bertentangan dengan qiyas. Sedangkan qiyas yang salah bisa bertentangan dengan nash. Dalam syari'at tak ada suatu perkara yang bertentangan dengan qiyas.
4.      Istishab
Menurut Ibnu Taimiyyah, istishab adalah tetap berpegang pada hukum asal, selama hukum itu belum diketahui tetap ada atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi ketidakadaan ittifa
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu masalah yang sedang hangat terjadi di masyarakatnya, kemudian dia diminta pendapatnya, dan tidak mendapatkan nash dari al-Qur'an hukum masalah itu, mubah atau haram, maka dia harus memilih mubahnya, sebab asal dari segala sesuatu itu mubah, kecuali yang sudah diharamkan oleh syara'. Ibahah atau pembolehan itu merupakan keadaan yang keseluruhan ciptaan Allah yang ada di atas bumi. Jika tak ada hukum syara' yang menentukan perubahan ibahah itu, maka ia pun tetap berada dalam hukum mubah (hukum asal).
5.      Mashlahah Mursalah
Ibnu Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benar-benar memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada fiqh imam Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai ushul fiqh, dia tidak membicarakan masalah maslahah mursalah, padahal madzhab-madzhab yang lain membicarakannya.
Namun dalam salah satu buku yang membicarakan tentang usul fiqh, Ibnu Taimiyyah membicarakan pula maslahah mursalah. Namun dia ragu-ragu mengenai hakikat dan kebenarannya, dan ragu-ragu menerimanya. Hal ini dikarenakan pada masanya penuh dengan berbagai aliran pemikiran sesat, filsafat dan sufi, serta arus pemikiran lain yang menentang Islam. Sebagian sultan dan raja mempergunakan pakain tertentu dengan maksud dan keyakinan dapat menolak bahaya yang datang, dan lain sebagainya.
Jumhur ulama' menolak maslahah mursalah secara mutlak. Cuma Imam Malik yang menerimanya secara mutlak. Hal ini sebenarnya cukup mengherankan, sebab Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, sama-sama menetapkan ushul hukum maslahah mursalah ini dalam berbagai ketetapan hukum fiqh, seperti dapat kita baca dari kitab-kitabnya



2.      Filosof
A.    Imam Al-Ghazali
·         Biografi
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam.
Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat.
Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan.
Antara tahun 465-470 H. imam Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al- Radzaski di Thus, dan dari Abu Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kekpada Yusuf Al Nassaj (w-487 H). pada tahun itu imam Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur itu Ismail Al- Farisi, imam al-Ghozali menjadi pembahas paling pintar di zamanya. Imam Haramain merasa bangga dengan pretasi muridnya
·         Karya karyanya
1.      Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah.
2.      Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras.
3.      Mi’yar al-‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).
4.      Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat.
5.      Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
6.      Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional)
7.      Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
8.      Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan).
9.      Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).
10.  Ayyuha al walad.
11.  Al musytasyfa
12.  Ilham al –awwam an ‘ilmal kalam.
13.  Mizan al amal.
14.  Akhlak al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan).
15.  Assrar ilmu addin (rahasia ilmu agama)
16.  Az-zariyah ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia)
17.  Al hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat kepada para raja).
18.  Al mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih).
19.  Syifa al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan).
20.  Tarbiyatul aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam)


·         Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
a.       Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
b.      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
c.       Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
B.     Al- Kindi
·         Biografi
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama  kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi  Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai  disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia  dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab)
·         Karya-karyanya
1.      Kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama),
2.       Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
3.      Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
4.      Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya),
5.      Kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu  pengetahuan dan klasifikasinya),
6.      Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa  Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya),
7.      Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan),
8.      Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al  Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif)
9.      Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual).
10.  Dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan).

·         Pemikirannya
1.      Pemaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Agaknya untuk memuskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak senang dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini.
2.      Falsafat Ketuhanan
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus dan spesies. Tuhan adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal (Al-Haqqul Wahid).
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu.
3.      Falasafat Jiwa
Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan tegas tentang roh dan jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai pokok sumber ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat ruh karena itu urusan Allah bukan Manusia. Dengan adanya hal tersebut, kaum filosof Muslim membahas jiwa berdasarkan pada falsafat jiwa yang dikemukakan para filosof  Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting , sempurna, dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan illahi sementara badan mempunyai hawa nafsu dan marah. Dan perbedaannya jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (yang terdapat di perut), daya marah (terdapat di dada), dan daya pikir (berputar pada kepala).[4]
4.       Akal
Dalam jiwa manusia terdapat tiga daya yang telah disebutkan diatas salah satunya ialah daya berpikir. Daya berpikir itu adalah akal. Menurut al-Kindi akal dibagi menjadi tiga macam: akal yang bersifat potensil; akal yang keluar dari sifat potensil dan aktuil; dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensil tidak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada satu lagi macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal tersebut membuat akal yang bersifat potensil dalam roh manusia menjadi actual.
C.     Al-Farabi
·         Biografi          
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya
·         Karya-karyanya 

1.      Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
2.      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof-, Maksunyad Plato danAristoteles).
3.      Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4.      4.Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5.      Ara’yu Ahl-il Madinah al-Fadilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Negeri Utama).
6.      Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
7.      Maqolat fi Ma’any al-Aql
8.      Ihsa’ Al Ulum
9.      Fushul Al Hukm
10.  Al Siayat Al Madaniyyat
11.  Risalat Al Aql

·         Pemikirannya
a.       Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
1.      Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2.      Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3.      Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
b.      Jiwa
Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
c.       Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta k.esehatan jasmani dan kefasihan berbicara
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
3.      Sufi
A.     Junaid Al-Baghdadi
·         Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
·         Karya-karyanya
1.      AI-Munajat
2.      Shar Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami
3.      Tashih Ai-lradhah dan Al Rasa’il
4.      Dawa Al-Tafit
·         pemikirannya
Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Tuhan itu Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan.
Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan nafsu yang ada dalam tibuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi.
Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu.
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya.
Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehencfak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.
Seperti dipaparkan oleh AI-Hujwiri soal tasawuf Al-Junayd ini. bahwa dalarn persatuan yang sesungguhnya (tauhid) tidak akan ada lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifat-sifat itu tidak tetap, sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu, Tuhanlah sesungguhnya yang berbuat. Semua itu sebenarnya sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi nama Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik manusia, tapi sesungguhnya puasa adalah kepunyaan Tuhan.
Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Sctelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak urnat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya.
Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persaluan dengan Tuhan. Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para sufi lain di rnasanya dan sesudahny






B.     Abdul Qadir Al Jailani
·        Biografi
Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani (470–561 H) (1077–1166 M) adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M. Selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
Ia adalah orang Kurdi atau orang Persia.Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India. Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam.
Saat usia 18 tahun, beliau sudah meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, yang saat itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Selanjutnya pada tahun 521 H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat hingga beliau dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh besar yang harum namanya dalam dunia Islam.
Sejak itulah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut sebagai tokoh sufi yang mendirikan Tariqhat Qodariyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tariqhat ini terus berkembang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tariqhat ini, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga se-bagian Afrika dan Asia.
·         Karya-karyanya
1.       Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al-Adab al-Islamiyah.
2.      Futuh al-Ghaib
3.      Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani
4.      Jala' al-Khawathir
5.      Sirr al-Asrar
6.      Asror Al Asror
7.      Malfuzhat
8.      Khamsata "Asyara Maktuban
9.      Ar Rasael
10.  Ad Diwaan
11.  Sholawat wal Aurod
12.  Yawaqitul Hikam
13.  Jalaa al khotir
14.  Amrul muhkam
15.  Usul as Sabaa
16.  Mukhtasar ulumuddin

·         Pemikirannya
Pengertian tasawuf menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah percaya kepada Yang Haq (Allah) dan berperilaku baik kepada makhluk. Lebih jelasnya tasawuf menurut beliau adalah bertaqwa kepada Allah, mentaatiNya, menerapkan syari’at, menyelamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima suratan takdir, menjaga kehormatan para guru, bersikap baik dengan saudara, meninggalkan permusuhan, bersikap lembut, melaksanakan keutamaan, menghindari dari menyimpan harta, dan tolongmenolong dalam kebaikan baik urusan agama maupun dunia.
Ada 2 hal yang penting berkaitan dengan tasawuf yakni: pertama; mendidik jiwa, menyucikannya, dan membawanya untuk berakhlak mulia. Yang kedua; etis dalam pergaulan dengan memberikan hak kepada guru dan saudara, memberikan nasihat dan ikhlas dalam segala hal serta meninggalkan permusuhan. 
Adapun tasawuf Syekh Abdul Qadir dibangun atas 8 pilar, yakni: dermawan, ridho, sabar, isyarah, mengasingkan diri atau uzlah, tasawuf, bepergian, dan kefakiran.   Beranjak dari sini banyak anggapan masyarakat, bahwasanya dunia sufi itu cenderung meninggalkan segala sesuatu yang berbau duniawi. Padahal tidak selalu demikian. Sebab jika dunia dinilai dapat memperkuat ibadah, maka tidaklah mengapa mengambil kenikmatan dari dunia.
C.     Al-Halajj
·         Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain bin Manshur bin Muhammad al-Baidhawi. Lahir di Baida sebuah kota kecil di wilayah Persia pada tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tasturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia memasuki kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawwuf. Ia mendapat gelar “al-Hallaj” karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Dalam semua perjalanannya dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Makkah, al-Hallaj telah banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M. Di kota ini, pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nasr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaiakan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawwuf tumbuh dengan subur.
·         Karya-Karyanya
1.       Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
2.      Kitab Al Ushul wal Furu’.
3.      Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
4.      Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
5.      Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
6.      Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
7.      Kitab “Hua, Hua”.
8.      Kitab At Thawwasin

·         Pemikirannya
Pada dasarnya al Hallaj adalah sama dengan para sufi lainnya. Ia berusaha mensucikan dirinya dari berbagai hal yang bersifat duniawi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Proses yang ia jalani pun secara umum sama, hanya memang untuk sama persis tentu sebuah kemustahilan. Ia melakukan perjalanan spiritual yang panjang untuk menemukan Sang Kebenaran. Pergulatannya yang panjang dalam dunia tasawuf sejak masa mudanya tersebut telah membuatnya berkesimpulan tentang tujuan hidup yang hakiki. Al Hallaj menjadi sufi yang sangat zuhud. Dalam sejaran dikisahkan bahwa ia menjalankan ibadah haji yang pertama lebih dari para jamaah haji yang lain. Selama satu tahun kehidupannya di Makah untuk ibadah haji tersebut, waktunya ia habiskan untuk berpuasa siang hingga malamnya. Hal tersebut dilakukannya demi mensucikan dirinya dari ego kemanusiaan atau hawa nafsu keduniaan untuk meraih cinta sejati kepada Allah SWT . Setelah ibadah hajinya yang ketiga, karakter sufi al Hallaj semakin tampak. Ia meyakini doktrin yang berbeda dari yang lain, doktrin inilah yang membuatnya kontroversial dan membuatnya mendapatkan banyak kawan sekaligus musuh. Ia berprinsip bahwa tujuan akhir dari sebuah pencarian kebenaran, baik untuk para sufi maupun semua makhluk, adalah bersatu dengan Tuhan . Dari sanalah al Hallaj mengatakan انا الحق atau “Akulah Kebenaran”. Dalam doktrin ajaran Islam yang dipahami para ulama’ pada umumnya, al Haq adalah nama Allah atau Allah itu sendiri. Pengakuannya sebagai al Haq menjadi ketidaklaziman dan dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang membahayakan aqidah umat Islam. Itulah kemudian yang menjadi kekhususan al Hallaj dibandingkan banyak sufi yang lain. Selain doktrin yang demikian populer tersebut al Hallaj juga berpandangan bahwa seorang sufi tetap memiliki keharusan untuk memperbaiki masyarakat .
Bagaimana Al Hallaj sampai memiliki doktrin ini?
Kepastian alasan mengapa al Hallaj demikian memang tidak ada yang mengetahui. Pengalaman dia bersifat sangat pribadi dan sulit dipahami serta tidak dapat digeneralisir. Sebagaimana dengan para sufi yang lain ia menjalani ritual agama dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Seperti contoh puasa setiap hari selama satu tahun menjalankan ibadah haji di Makah adalah salah satunya di antara aktifitas peribadatannya yang lain. Hal semacam ini tentu memberikannya pengalaman tersendiri yang sekali lagi tidak mudah dipahami. Namun demikian, bagaimanapun al Hallaj adalah manusia biasa yang kepadanya juga berlaku hukum hukum sunatullah sebagaimana umunya manusia. Mengutip salah seorang tokoh psikologi William Stern bahwa manusia itu senantiasa dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan .
Sekedar sebagai perbandingan, sufisme dengan masing masing tokohnya memang menampilkan wajah spiritual yang menarik namun sulit dipahami. Katakanlah sosok Rabiah al Adawiyah. Pengalaman batinnya yang tidak selalu dapat dilalui orang lain membawanya pada kesempurnaan ruhani dengan kecintaan yang tulus kepada Allah tanpa pamrih apapun. Kisah yang menarik dari Rabiah adalah ketidakmauannya menikah karena takut mengurangi cintanya kepada Allah.
Kembali pada al Hallaj, perjalanannya yang panjang dan bertemu berbagai macam orang sekaligus guru tentu memberikan pengaruh yang besar disamping kecerdasan dan tekadnya yang besar dalam usaha mensucikan diri dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Tercatat dalam sejarahnya ia sempat berguru pada seorang sufi Sahl at-Tustari, seorang sufi yang berani dan independen. Sahl terkenal sebagai mufassir dan mengamal secara ketat berbagai tradisi nabi disertai dengan praktek zuhud yang luar biasa, seperti puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari . Selain itu beberapa gurunya yang lain adalah Amr al-Makki dan gurunya Junaid. Keduanya adalah sufi yang masyhur di masa itu. Pertemuannya dengan Junaid disebabkan konflik yang terjadi antara dia dengan gurunya, Amr. Sementara dikemudian hari ia juga berkonflik dengan Junaid karena perbedaan pandangan mengenai harus tidaknya sufi ikut memperbaiki masyarakat. Tampaknya al Hallaj adalah seorang yang keras hati, sehingga ia sering memiliki konflik dengan para gurunya yang akhirnya memutus hubungan silaturahim mereka. Bahkan tidak hanya dengan gurunya, dengan ayah mertuanya pun dikisahkan juga memiliki konflik. Deretan konflik inilah yang barangkali membuat kehidupannya tidak selalu mapan dan sering berpindah pindah. Sampai suatu saat tercatat Amr al Makki yang pernah menjadi gurunya menyiarkan berita berita yang menjelekkannya di publik . Mungkin kondisi ini menggoncang jiwanya, hingga ia melepaskan “jubah” sufinya dan menjalani kehidupan sebagaimana manusia pada umumnya dengan tetap mensyiarkan ajaran ajaran spiritual . Pada kondisi ini al Hallaj membangun relasi baru dengan Muhammad Zakariya ar Razi atau terkenal dengan filosof ar Razi, juga seorang reformer sosialis bernama Abu Sa’ad al Jannabi serta Hasan bin Ali Ad Tawdi . Selain dengan mereka, selama ia memisahkan diri dari pergaulan dengan kaum sufi dan melakukan pengembaraan apostolik ia bertemu dengan banyak guru spiritual dari berbagai macam tradisi, seperti Zoroastrianisme dan Manicheanisme . Pergumulannya dengan berbagai macam orang ini akhirnya menemukan titik aliknya setelah al Hallaj menunaikan ibadah hajinya yang ketiga yang ia lakukan selama dua tahun. Dia kembali menjadi seorang sufi yang mengenalkan diri dengan Sang Kebenaran.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa proses pergulatan spiritual seorang al Hallaj cukup panjang. Kejiwaannya dinamis merespon setiap kejadian yang menimpanya. Perjalanannya yang penuh konflik dengan para guru dan mertuanya serta berbagai pengalaman spiritual dalam kezuhudannya bermuara pada ektase (fana’). Bagaimanapun, corak keagamaan al Hallaj yang menjadi sufi “Kebenaran” tidak dapat dilepaskan dengan para gurunya. Sudah barang tentu mereka memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan spiritualitasnya. Disamping itu perjumpaannya dengan berbagai pemikiran lain dari para filosof, tokoh agama lain dan berbagai kejadian membuat dirinya memilih jalan sufisme yang “sempurna”, dengan bukti ia merasa mampu menyatu dengan Tuhannya.
4.      Fuqaha
A.    Sa’id bin Al-Musayyib
·         Biografi
Said bin Al-Musayyib(pembesar para Tabi'in). Namanya adalah Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb Ibnu Amr bin A’id bin Imran bin Makhzum Al-Qurasy Al-Makhzumi Al-Madani. Nama panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau adalah pembesar para tabi’in. yang sezaman dengan para sahabat Rasulullah seperti: Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah ridhwanullah ‘alayhim ajma’in. Beliau juga perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sehingga beliau pun menikahkan Said dgn putrinya.
Said Bin Al Musayyib dikenal sebagai seorang yang tak pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tak pernah melihat punggung orang orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan terdepan. Beliau juga seorang yang tegas dan tak mau tunduk dengan kemauan para penguasa. Namun beliau tetaplah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan terutama dgn orang orang yang shalih dan bertaqwa. Banyak sanjungan dan pujian terlontar kepada beliau mengenai wawasan, kehormatan dan kemuliaan beliau.
·         Karya-karyanya
Sa’id bin Musayyib meriwayatkan hadits-hadits secara mursal dari Rasulullah
·         Pemikirannya
Ketakutan Beliau Akan Fitnah Wanita
Dari Ali bin Zaid dari Said bi Al-Musayyib, dia berkata, “Tidak ada yang lebih mudah bagi setan untuk menggoda kecuali melalui perempuan.” Kemudian, Said berkata “Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada perempuan.” Padahal saat itu umurnya sudah lanjut, tua renta dan salah satu penglihatannya telah buta sedangkan yang tersisa pun sudah kabur penglihatannya karena rabun.
Dari Imran bin Abdul Malik, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah merasa takut kepada sesuatu pun seperti ketakutanku pada wanita.” Orang orang yang mendengarnya selanjutnya mengatakan, “Sesungguhnya orang seperti Anda tidak pernah menginginkan wanita (untuk dinikahi) dan tidak ada wanita yang mau mengawini anda,” Dia berkata, “Memang itulah yang aku katakan kepada kalian.”
Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki laki (melainkan fitnah yang datang dari) wanita.” Dikeluarkan oleh Bukhari (9/5096); Muslim (4/2097), Ibnu Majah (3998) dan At-Tirmidzi (2780) dan dia berkata: “Hadits Hasan Shahih”
Demikianlah Said bin Al Musayyib. Bagaimana dengan para pemuda saat ini yang dikaruniai penglihatan sempurna, dan menemukan wanita wanita yang bahkan belum pernah ada di zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bebas berkeliaran di jalan jalan, sedangkan setan la’natullah ‘alayh menghiasi pandangan mereka terhadap wanita wanita tersebut?..
Hendaklah mereka takut akan apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam. Hendaknya mereka khawatir diri mereka akan terjatuh kepada fitnah terbesar bagi kaum adam umat ini. Fitnah Wanita.






B.     Al-Qasim Bin Muhammad
 
Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ( wafat k. 106 H/724-725 M) adalah seorang ulama dari golongan tabi'in, dan ahli fiqih ternama yang termasuk dalam Tujuh Fuqaha Madinah. Al-Qasim adalah cucu dari sahabat Nabi Abu Bakar ash-Shiddiq. Ayahnya adalah Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ibunya salah seorang dari putri Yazdegerd III, penguasa terakhir Kekaisaran Persia Sassania yang ditaklukkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.[4] Ayahnya Al-Qasim meninggal saat ia berusia tujuh tahun, dan ia dibesarkan oleh bibinya Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar.
Al-Qasim dan sepupunya Urwah bin Zubair mempelajari berbagai ilmu dari bibi mereka Aisyah, yaitu bahasa Arab, fiqih Islam dari al-Qur’an, aqidah, syariah, hadits Nabi, dan lain-lain. Al-Qasim juga menuntut ilmu dari para sahabat terkenal lainnya, seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, serta Abu Hurairah.
Al-Qasim meriwayatkan hadits dari ayahnya (yakni Muhammad bin Abi Bakr), ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair, Ibnu ‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Abdullah bin Ja’far, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Khabbab, Mu’awiyah, Rafi’ bin Khadij, Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma-, Fathimah bintu Qais, dan yang lainnya.
Dan adapun para muhadditsun yang meriwayatkan dari beliau di antaranya adalah anaknya sendiri (yakni ‘Abdurrahman), Asy-Sya’bi, Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Ibnu Abi Mulaikah, Nafi’ maula Ibni ‘Umar, Az-Zuhri, Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu ‘Aun, Rabi’ah, Abu Az-Zinad, dan masih banyak lagi.
Beliau adalah seorang tabi’in yang amanah. Wajar jika kemudian ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia berkata: “Seandainya aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.”
Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah ‘azza wajalla sebagai anak yatim dalam tarbiyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, beliau adalah cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq yang paling mirip dengan kakeknya.
C.     Urwah bin Az-Zubair
Urwah bin Az-Zubair adalah seorang tabi’in yang mulia, satu dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (tujuh tokoh fuqaha’ /ulama) yang masyhur dalam sejarah kaum muslimin, panutan umat. Beliau dikenal dengan kesabarannya yang tinggi saat kakinya diamputasi karena penyakit.
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani, dilahirkan pada tahun ke-23 Hijriyyah pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan di kota Madinah, Putra dari Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma.
Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Bibi beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabi’in



.
5.      Pembaharu Dalam Islam
A.    Jamaluddin al-Afghani
·        Biografi
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afgani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun ia lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Ia merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum muslimin gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afgani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20.
Dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan pada tahun 1838, al-Afgani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa kecil dan remajanya, ia habiskan di Afganistan. Namun ketika beranjak dewasa, ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan Prancis.
Pendidikan dasar ia peroleh di tanah kelahirannya. Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Kabul dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Ia tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil-safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Ketika berada di Kabul, sampai umur 18 tahun, ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping filsafat dan ilmu eksakta.
·         Pemikirannya
1.      Islam adalah agama yang sesuai dengan segala keadaan dan waktu. Islam merupakan agama yang mengajarkan dinamisme dalam berfikir dan berperilaku yang sesuai dengan ajaran Islam.
2.      Islam bukanlah agama yang mengajarkan faham fatalis dan statis
3.      Qadla dan Qadar Allah sesungguhnya merupakan sesuatu yang terjadi karena sebab musabab, bukan semata-mata  langsung dari Tuhan. Artinya, bahwa manusia bisa menentukan taqdirnya sendiri melalui usaha yang maksimal.
4.      Lemahnya persaudaraan di kalangan umat Islam juga menyebabkan umat Islam mundur, dari kalangan awam sampai ulama hingga raja tidak ada lagi rasa persaudaraan, sehingga umat Islam lemah tidak memilki kekuatan untuk maju bersama.
5.      Sistem pemerintahan otokrasi harus diganti dengan demokrasi yang berdasarkan musyawarah.
6.      Umat Islam di setiap Negara harus membangun semangat nasionalisme dan internasionalisme agar umat Islam dapat bersatu. Hanya dengan persatuan umat Islamlah, Islam dapat berkembang dan maju, tetapi tanpa persatuan di kalangan umat Islam mustahillah kemajuan dapat diraih.








B.     Mustafa Kemal
·        Biografi
Mustafa lahir pada di Salonika (Turki) pada tahun 1881 M. Ia diberikan gelar Attartuk yang artinya Bapak Turki. Gelar itu diperoleh karena ia telah menyelamatkan bangsa Turki dari penjajahan Barat yaitu, Yunani yang dibantu oleh tentara sekutu (Inggeris, Perancis dan Amerika), yang mendarat di Turki pada tanggal 15 Mei 1919 M.
Kelahiran Mustafa Kemal merupakan kebangkitan baru bagi bangsa Turki untuk mengusir penjajah dari bumi Turki. Di samping itu ia telah mengembalikan kejayaan bagi  Kerajaan Turki Usmani yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II. Abdul Hamid II adalah sosok sultan  yang diktator, namun kekuasaannya tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi kemajuan bagi bangsa Turki, sebab ia hanyalah boneka yang merupakan tangan panjang penjajah bangsa Barat.
Untuk melawan Sultan Abdul Hamid II, ia bersama dengan teman-temannya( Ali Fuad, Rauf, dan Refat), mendirikan perkumpulan rahasia yang bernama Vatan ve Hurriyet yang berarti : Tanah Air dan Kemerdekan. Perkumpulan ini merupakan cikal bakal lahirnya Partai Nasionalis di Turki.
·         Pergerakan  dan Pemikirannya.
a.       Pergerakan Mustafa Kemal
Setelah Mustafa Kemal menjadi seorang pemimpin dalam Partai Nasionalis Turki, untuk melawan Sultan Abdul Hamid II, ia mendirikan Pemerintah Tandingan di Anatolia. Ia dan kawan-kawan mengeluarkan maklumat yang berisi tentang pernyataan-pernyataan sebagai berikut :
1.      Kemerdekaan Tanah Air dalam keadaan  bahaya
2.      Pemerintah di ibu kota berada  di bawah kekuasaan sekutu dan  oleh karena itu tidak dapat menjalankan tugas.
3.      Rakyat Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing.
4.      Gerakan-gerakan pembela tanah air yang telah ada harus dikordinir oleh suatu panitia nasional pusat.
5.      Untuk itu harus diadakan konggres.
     Atas usaha Mustafa Kemal dan teman-temannya itu dapat dibentuk Majlis Nasional Agung di tahun 1920. Dalam sidang di Ankara yang sekarang menjadi ibu kota Republik Turki ia dipilih sebagai Ketua. Dalam siding itu diputuskan hal-hal sebagai berikut :
Kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat Turki, bukan lagi di tangan sultan. Majlis Nasional Agung merupakan perwakilan rakyat tertinggi. Majlis Agung Nasional bertugas sebagai badan legislatif dan eksekutif.Majlis Negara yang anggotanya dipilih dari Majlis Agung Nasional akan menjalankan tugas pemerintah. Ketua Majlis Agung  Nasional merangkap jabatan Ketua Majlis Negara.
Demikianlah, Mustafa Kemal dan teman-temannya dari golongan nasionalis bergerak terus dan dengan perlahan-lahan dapat menguasai situasi, sehingga akhirnya Sekutu terpaksa mengakui mereka sebagai penguasa de facto dan dejure di Turki. Pada tanggal 23 Jui 1923 ditanda tangani Perjanjian Lausanue, dan pemerintahan Mustafa Kemal mendapat pengakuan Internasional..
·         Pemikiran-pemikirannya.
Dalam pemikiran tentang pembaharuan Mustafa Kemal dipengaruhi bukan oleh ide nasionalisme Turki saja, tetapi juga oleh ide golongan Barat. Turki dapat maju hanya dengan meniru Barat. Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru mulai, yaitu perjuangan untuk memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di Turki. Peradaban Barat akan diambil bukan hanya sebagian, tetapi dalam keseluruhannya.
Di antara pemikiran-pemikirannya adalah :
1.      Perlu dihapuskannya jabatan Khalifah diganti dengan jabatan Presiden yang dipilih oleh rakyat.
2.      Negara tidak ada lagi hubungannya dengan agama.
Sembilan tahun kemudian, yaitu setelah prinsip sekulerisme dimasukkan ke dalam Konstitusi di tahun 1937, barulah Republik Turki dengan resmi menjadi Negara sekuler.
C.     Muhammad Iqbal
·         Biografi
Muhammad Iqbal  adalah The founding father of Pakistan (Bapak pendiri Pakistan), seorang filosof serta penyair. Ia berasal  dari keluarga golongan menengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada tahun 1876. Untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar di sana sampai ia memperoleh gelar kesarjanaan MA.  Di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang Orientalis, yang menurut keterangan, mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905 ia pergi ke Negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat, Dua tahun kemudian dia pindah ke Munich di Jerman, dan di sinilah ia memperoleh gelar Ph.D (Philosophy of Doctor)  dalam tasawuf.  Tesis doctoral yang dimajukannya berjudul : The Development of Metaphyscs in Persia.
Pada tahun 1908 ia berada kembali di Lahore dan di samping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen falsafat. Bukunya The Reconstruction of Religius Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah  yang diberikannya di beberapa  universitas di India.
·         Pemikiran-pemikirannya
1.      Bidang agama
a.       Ajaran Islam itu bersifat dinamis tidak statis. Dalam Islam ada ungkapan : “ Al- Islam shalih li kulli zaman wa makan” (Islam itu fleksibel dalam sitiuasi dan kondisi apapun).
b.      Barat maju karena pemikiran Barat selalu dinamis, tidak pernah berhenti. Barat sangat cinta ilmu pengetahuan dan senantiasa berijtihad (mengadakan research/penelitian).
c.       Umat Islam agar senantiasa menciptakan ide-ide baru dalam dunia baru, tidak boleh pasrah terhadap keadaaan dan tidak boleh lama-lama tidur. Umat Islam harus bangkit dari tidurnya. Dalam pandangan Iqbal, bahwa orang kafir yang aktif lebih baik dari pada muslim yang suka tidur. (pemikirannya serta malas usaha).
2.      Bidang Politik  :
a.       Umat Islam bisa maju harus hidup dalam satu ikatan umatan wahidah, yaitu adanya Pemimpin Islam dunia untuk menyatukan umat Islam.
b.      Iqbal menolak nasionalisme Barat yang membuat umat Islam terpecah-pecah menjadi negara –negara kecil. Negara boleh beda, tetapi bangsa tetap satu yaitu umat Islam.
c.       Iqbal menolak kapitalisme dan imperialisme  Barat yang  menyengsarakan bangsa-bangsa, sebaliknya Iqbal lebih tertarik sosialisme yang berkembang di Barat, sebab sosialisme identik bahkan sebagian dari ajaran Islam.
d.      Nasionalisme yang berkembang di India yang terdiri dari dua kekuatan yaitu Islam dan Hindu ia setuju, tetapi sulit untuk diwujudkan. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa umat Islam di India harus memilih antara tetap hidup di India dengan tetap menjadi kaum minoritas, atau memisahkan diri dari India dengan memiliki Negara dan kekuasaan sendiri. (ini merupakan embrio kelahiran Negara Pakistan).

Copyright @ 2013 studis .