Minggu, 29 Mei 2016
Filled Under:
ASPEK HUKUM ISLAM
Posted By:
Unknown
on
17.50.00
A. Pengertian Fiqh, Ushul Fiqh, dan Kaidah Fiqhiyah
1) Fiqh
Fiqh secara bahasa memiliki arti paham, sedangkan secara istilah fiqh berarti ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang bersumber dari dalil-dalil Al-qur’an, As-sunnah, ijma’ (kesepakatan) dan ijtihad dari ulama muslim. Adapun tujuan dari fiqh dalam Islam ialah untuk mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin. Berdasarkan sumber-sumber hukumIslam, diperoleh tujuh kitab yang membahas hukum-hukum dalam kehidupan sebagai berikut:
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah atau yang disebut juga dengan fiqh ibadah. Hukum ini membahas hal-hal seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya.
b. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan atau yang disebut juga dengan fiqh al-ahwal as-sakhsiyah. Hal yang dibahas dalam hukum ini meliputi pernikahan, talak, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainnya.
c. Hukum fiqh muamalah yakni hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya.
d. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara) yang disebut juga dengan fiqhsiasah syar’iah. Hukum ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan keadilan, penerapan hukum-hukum syari’at.
e. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban yang disebut juga dengan fiqhal-ukubat.
f. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya, hukum ini disebut juga dengan fiqhas-siyar. Hukum ini membahas tentang perang atau damai dan yang lainnya.
g. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Hukum ini disebut dengan adab dan akhlak.
2) Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh merupakan gabungan dari dua kata yakni ushul yang berarti pokok, dasar, pondasi. Kedua adalah fiqh yang berarti paham yang mendalam. Kata ushul yang merupakan jama’ dari kata ashal secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Arti etimologi ini tidak pasti dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh.
Sedangkan fiqh diistilahkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum praktis yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci (tafshili) dalam nash (Al-qur’an dan As-sunnah). Yang dimaksud dalil tafshili adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nashdimana satu persatunya menunjuk pada satu hukum tertentu.
Dengan mempelajari ushul fiqh tentu dapat memberikan manfaat diantaranya mengetahui pendapat yang benar diantara perbedaan pendapat para ulama, mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan persilangan pendapat di antara para ulama sehingga dapat memberikan alasan dan uzur bagi mereka dalam hal tersebut, dan juga menguatkan kaidah dalam berdiskusi dan berdialog secara ilmiah.
Dilihat dari sisi dalil maupun asasnya, ushul fiqh berasal dari beberapa sumber diantaranya:
a. Alquran dan As-sunnah.
b. Riwayat dari sahabat dan tabiin.
c. Konsensus ulama salafussaleh.
d. Kaidah bahasa Arab dan keterangan penguat yang dinukil dari bangsa Arab.
e. Fitrah dan akal yang sehat.
f. Ijtihad ulama yang tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.
Ulama ushuliyyin (ahli ushul fiqh) menyatakan sebuah kaidah ushul:
اَلْأَصْلُ فِيْ اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Perintah pada dasarnya berarti wajib”
Ketika para ahli fiqh (fukaha) mengkaji surat al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (الإسراء 78)
“Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir sampai terbenamnya mega merah dan (dirikan) shalat saat munculnya fajar. Sesungguhnya fajar itu dapat terlihat.”
Terlihat bahwa perintah tersebut tidak disertai hal-hal yang membuatnya berarti lain selain perintah shalat pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan akidah ushuldi atas, perintah tersebut bermakna wajib. Karena itu, ahli fiqh memutuskan bahwa perintah shalat pada waktu tertentu bermaksa wajib. Itu berarti ahli fiqhmenggunakan kaidah-kaidah yang dikaji dan dirumuskan ahli ushul untuk melakukan penggalian hukum dari Al-qur’an.
3) Kaidah Fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah yang dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yakni, qai’dah yang berarti dasar atau asas, dan kata fiqhiyah yang berasal dari kata fiqh yang berarti paham. Secara istilah kaidah fiqhiyah berarti kumpulan hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci. Kaidah fiqhiyah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah ini memiliki ruang lingkup furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan universal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum fiqh.
b. Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.
c. Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah) bahkan cenderung sangat sedikit.
Contoh dari kaidah ini adalah diantaranya sebagai berikut:
a. Disunnahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi setengah atau keseluruhan.
b. Apabila ada orang tua yang menderita sakit parah menyerahkah semua hartanya kepada salah satu ahli waris, maka transaksinya tidak sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini karena dimungkinkan adanya kesengajaan bagi orang tua tersebut untuk memberikan warisanya hanya kepada satu orang saja (hirmanu al warist ila ghoirihi) hal ini tidak di benarkan dalam Islam.
c. Apabila ada salah satu ahli waris yang mengaku memiliki harta yang di hutang orang tuanya yang meningal dan ia tidak mempunyai bukti, maka hal ini dibenarkan, karena ada kemungkinan ia hanya ingin mendapat bagian lebih banyak.
Proses Pembentukan Kaidah Fiqhiyah
Kaidah fiqh tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Harus melawati metode dan proses sehingga terbentuk suatu kaidah fiqh yang berlandaskan hukum Alquran. Menurut Syaikh Yasin, ada dua metode yang dapat diterapkan dalam membentuk suatu kaidah fiqh, yaitu sebagai berikut:
1. Metode pertama yang dapat dilakukan adalah dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang telah ditentukan mujtahid dalam proses pengambilan hukum dari sumbernya yaitu Alquran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Konsep ini disebut dengan ushul fiqh.
2. Motode kedua yang dapat dilakukan, yaitu dengan mengeluarkan kaidah-kaidah fqhiyah yang bersifat universal dari tiap-tiap bab dari ilmu fiqh.
Dalam pembentukan kaidah fiqh, ada beberapa proses yang harus dilakukan, diantaranya adalah:
1. Sumber yang di ambil berasal dari sumber hukum Islam seperti Al-qur’an, As-sunnah, Ijma, dan Qiyas.
2. Metodologi yang di gunakan berasal dari ushul fiqh.
3. Menggunakan ilmu fiqh yang mengandung banyak materi.
4. Kumpulan masalah yang serupa kemudian disimpulkan menjadi kaidah fiqh, kemudian di kritisi kembali.
5. Suatu kaidah fiqh di anggap sempurna ketika sesuai dengan Alquran dan Hadits
6. Kaidah fiqh di gunakan untuk menjawab tantangan dalam masyarakat
Setelah melakukan serangkaian diatas, maka kaidah fiqh di harapkan mampu menjawab persoalan dan masalah-masalah dalam masyarakat.
B. Persamaan dan Perbedaan Fiqh dengan Syariah
Secara bahasa syariah berarti jalan air di sungai, yang dalam bahasa Arab dapat diartikan sebagai jalan yang lurus. Menurut Fuqaha syariah berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt melalui rasul-Nya untuk hamba-Nya, agar mereka mentatati hukum atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah amaliyah (ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak.
Syariah Islam bersumber dari Al-qur’an dan As-sunnah. Dalam lingkup kehidupan pribadi syariah Islam meliputi ibadah muamalah (seperti shalat, puasa dan sebagainya) dan syariah yang terkait dengan kehidupan pribadi (seperti dalam memilih minuman, pakaian, memelihara kebersihan, dan lain-lain). Antara syariah dan fiqh terdapat beberapa perbedaan dan persamaan diantaranya:
1) Perbedaan
Syariah Fiqh
Berasal dari al-qur’an dan as-sunnah Bersumber dari manusia
Bersifat fundamental Bersifat instrumental
Hukumnya bersifat qath’i (tidak berubah) Hukumnya zhanni (dapat berubah)
Diturunkan langsung dari Allah SWT
Berasal dari ahli-ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang dirumuskan oleh mujtahid
2) Persamaan
Syariah dan fiqh merupakan dua hal yang sama-sama mengajarkan kita jalan yang lurus untuk tetap bertakwa kepada Allah Swt.
C. Latar Belakang Lahirnya Fiqh dan Pandangan serta Karya-Karya Ulama Terhadap Fiqh
Ilmu fiqh dengan berbagai ruang lingkup kajiannya bukanlah sesuatu yang bersifat dogmatis melainkan sesuatu yang bersifat ijtihadiyah. Ilmu fiqh ini merupakan hasil ijtihad yang memakan waktu yang cukup panjang. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan fiqh. Sejarah perkembangan fiqh dapat dibagi ke dalam lima periode yaitu periode Nabi Muhammad Saw, periode Khulafaur Rasyidin (sahabat), periode Umayyah dan Abbasiyah, periode taqlid (penutupan pintu ijtihad), dan periode kebangkitan.
1. Ilmu Fiqh Pada Periode Nabi Muhammad Saw
Pada periode Nabi Muhammad Saw ini, sumber hukum Islam yang utama yaitu Al-qur’an masih dalam proses turun yang memakan waktu kurang lebih 23 tahun (tepatnya 22 tahun, 2 bulan, 22 hari). Proses turunnya Al-qur’an ini dilakukan dengancara berangsur-angsur. Berdasarkan wahyu yang diturunkan itulah, Nabi Muhammad Saw menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam pada waktu itu. Namun ada kalanya timbul persoalan hukum dalam masyarakat yang cara penyelesaiannya belum terdapat di dalam Al-qur’an. Dalam keadaan demikian, maka Nabi Muhammad Saw menyelesaikannya dengan menggunakan ijtihad atau pendapat yang dihasilkan dari pemikiran yang mendalam. Apabila hasil ijtihad Nabi Muhammad Saw itu benar, maka tidak lagi mendapat tentangan dengan turunnya ayat Al-qur’an untuk memperbaikinya. Namun apabila hasil ijtihadnya tidak benar, maka akan turun ayat untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu, ijtihad nabi dipandang mendapat lindungan dari Allah dan tidak akan salah (al-ma’shum). Ijtihad yang dibuat nabi diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui sunnah yang selanjutnya disebut pula hadits. Dengan demikian, sumber hukum yang terdapat pada periode Nabi Muhammad Saw adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
2. Ilmu Fiqh Pada Periode Khulafaur Rasyidin (sahabat)
Pada periode sahabat, persoalan hukum yang harus diselesaikan semakin luas dan berkembang serta lebih sulit untuk diselesaikan. Hal ini disebabkan karena pada periode ini daerah yang dikuasai Islam semakin bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah yang di luar Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan yang tinggi dan susunan masyarakat yang tidak sederhana dibandingkan dengan masyarakat Arab saat itu. Dalam menyelesaikan persoalan hukum yang demikian berat, luas, dan baru itu para sahabat menggunakan Al-qur’an dan sunnah sebagai rujukan utama. Namun demikian, penggunaan Al-qur’an sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan persolan fiqh tidak mengalami masalah yang berarti karena Al-qur’an telah dihafal oleh para sahabat dan telah dibukukan pada zaman Abu Bakar R.A. Akan tetapi berbeda halnya dengan masalah sunnah. Penggunaan sunnah sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan masalah fiqh bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini disebabkan karena sunnah tidak dihafal dan belum dibukukan pada waktu itu. Sehingga timbullah hadist-hadist yang diragukan berasal dari Nabi Saw yang selanjutnya dikenal sebagai hadist buatan. Persoalan lainnya adalah bahwa ayat-ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan hukum hanya berjumlah 368 ayat. Oleh karena itu tidak semua persoalan hukum dapat dikembalikan pada Al-qur’an atau sunnah.
Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukumini, maka khalifah dan para sahabat mengadakan ijtihad. Namun karena turunnya wahyu sudah berhenti dan para sahabat tidak mengetahui apakah hasil ijtihadnya benar atau salah sehingga untuk menguatkan hasil ijtihadnya itu maka dipakailah ijma’ atau konsensus sahabat. Dalam hal ini, khalifah tidak memutuskan sendiri mengenai ketentuan hukumnya tetapi terlebih dahulu bertanya kepada para sahabat. Keputusan yang diambil dengan suara bulat (konsensus) dipandang lebih kuat dari pada keputusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja. Pada zaman Abu Bakar, konsensus masih dapat dilakukan karena tempat tinggal para sahabat masih berdekatan. Akan tetapi penyelenggaraan konsensus pada zaman Umar sudah sangat sulit untuk dilaksanakan karena para sahabat telah tersebar diberbagai daerah yang berada dibawah kekuasaan Islam akibat adanya ekspansi wilayah seperti Mesir, Suriah, Irak, dan Persia. Namun demikian, karena para sahabat masih mempunyai wibawa yang besar sebagai akibat dari kedekatan para sahabat dengan Nabi Muhammad Saw, maka ijtihad para sahabat dapat diterima oleh umat. Dengan demikian, sumber hukum pada periode Khulafaur Rasyidin (sahabat) menjadi tiga yaitu Al-qur’an, Sunnah, dan ijma’ sahabat. Para ahli fiqh dari kalangan sahabat ini antara lain Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Umar di Madinah; Abdullah bin Abbas di Mekah; Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Anas bin Malik di Bashrah, Mu’az bin Jabal di Suriah, dan Abdullah bin Amr al-Al-Aas di Mesir.
3. Ilmu Fiqh pada periode Umayyah dan Abbasiyah
Pada periode ini, yang juga disebut sebagai periode ijtihad, persoalan hukum semakin bertambah kompleks dan luas. Hal ini terjadi karena wilayah Islam semakin luas, hingga mencapai Afrika, Spanyol, dan Asia Tengah. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu agama, ilmu umum, kebudayaan, dan peradaban yang semakin berkembang pula. Pada masa ini kegiatan pengumpulan, penyeleksian, pembuatan hadits palsu, dan pembukuan hadits semakin berkembang. Demikian pula ilmu di bidang bahasa Arab, ilmu Al-qur’an, dan ilmu hadits dengan berbagai cabangnya yang juga semakin berkembang. Demikian pula dengan berbagai adat istiadat, tradisi, dan sistem kemasyarakatan yang terdapat di berbagai daerah tersebut makin beragam. Keadaan ini memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan hukum Islam.
Masalah hukum yang dihadapi umat makin beragam pula. Untuk mengatasi keadaan ini, para ulama semakin meningkatkan ijtihadnya dengan berdasarkan pada Al-qur’an, Sunnah Nabi, dan ijma’ Sahabat. Pada periode inilah lahir para ahli hukum (mujtahid) yang selanjutnya dikenal sebagai imam atau faqih dalam Islam dan empat mazhab yang dikenal saat ini yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali juga lahir pada periode ijtihad ini.
4. Ilmu Fiqh Pada Periode Taqlid atau Penutupan Pintu Ijtihad
Periode ini dapat pula disebut periode kemunduran dalam sejarah kebudayaan Islam, yang dimulai sejak abad keempat hijriah (kesebelas masehi). Pada masa ini, mazhab yang empat telah memiliki kedudukan yang stabil dalam masyarakat dan perhatian bukan lagi ditujukan kepada Al-qur’an, As-sunnah, dan sumber-sumber hukum Islam tersebut, melainkan pada buku-buku fiqh yang ditulis oleh para ulama fiqh. Ulama-ulama mempertahankan mazhab imamnya masing-masing dan menganggap mazhab imamnya yang terbenar dan yang lainnya kurang benar. Dengan demikian perhatian dipusatkan pada usaha mempertahankan kebenaran mazhab masing-masing. Dalam hubungan ini, Sobhi Mahmassani mengemukakan sebagai berikut: Pada masa terakhir dari kekuasaan daulah Abbasiyah, perkembangan ilmu fiqh mulai terhenti.
Ulama-ulama pada waktu itu sudah merasa cukup dengan pengumpulan karya-karya mazhab saja dan mereka membatasi diri dalam ijtihad hanya pada soal-soal furu’ belaka. Setelah jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ketujuh hijriah (13M), ulama-ulama fiqh sepakat untuk menutup pintu ijtihad hanya karena rasa kekhawatiran dengan adanya perselisihan pendapat. Kemudian peradaban bangsa Arab mulai menurun dan berangsur-angsur menderita kemundurannya sehingga akhirnya mengalami kemunduran dalam segala bidang. Disusul pula dengan meluasnya taqlid yang berakibat terhentinya ijtihad dalam ilmu fiqh. Ulama-ulama fiqh sudah merasa cukup dengan ikhtisar kitab-kitab syariat, dengan syarah-syarahnya, ataupun kitab fatwa saja. Pada masa itu, ulama-ulama sekaliber Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali sudah tidak terdapat lagi. Ijtihad yang dijalankan oleh ulama-ulama yang belum mencapai derajat mujtahid telah membawa kekacauan dalam bidang hukum di masyarakat. Dalam suasana yang demikian, para ulama melihat perlunyamenutup pintu ijtihad.
5. Ilmu Fiqh Pada Periode Kebangkitan
Pada masa itu, yakni abad ke-14 masehi, terdapat sejumlah ulama yang tidak menerima taqlid. Mereka bangkit menyerukan kewajiban ijtihad kepada dunia Islam dan menyerukan ajakannya untuk kembali kepada sumber-sumber syariat yang asli, yakni Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ulama-ulama ini kemudian terkenal dengan sebutan mazhab Salaf, sebagai para mujadid yang mengadakan pembaruan dari alam taqlid dan penyelewengan ke alam ijtihad dan keaslian. Mereka itu antara lain Taqiyuddin ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Selanjutnya pada abad ke-19 Hijriah, lahirlah Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh yang menyerukan kepada dunia Islam untuk meninggalkan taqlid. Gerakan membuka kembali pintu ijtihad dengan merujuk langsung kepada Al-qur’an dan Sunnah ini dilakukan oleh dunia Islam yang bersentuhan dengan peradaban modern seperti Turki, India, Mesir, dan Indonesia. Tokoh pembaharu Islam dari Turki seperti Zia Gokalf dan Sultan Mahmud II. Di India terdapat nama Ahmad Khan dan Sayyid Ameer Ali. Di Mesir terdapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sedangkan di Indonesia terdapat KH. Ahmad Dahlan dan Ahmad Syurkati.
Tokoh-tokoh Fiqh
1. Abu Hanifah al- Nu’man
Abu Hanifah banyak memakai “pendapat” yang dalam bahasa Arab dikenal. Dengan istilah al-ra’yu, qiyas, atau analogi serta istihsan yang juga merupakan suatu bentuk analogi. Abu Hanifah dikenal sangat hati-hati dalam menggunakan sunnah sebagai sumber hukum. Ia hanya memakai sunnah yang betul-betul diyakininya orisinal dan bukan sunnah buatan. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai penganut mazhab ahl al-ra’yi (aliran rasionalis). Selain itu, Abu Hanifah juga berada di Kufah sehingga tidak banyak menjumpai hadist. Sumber hukum yang digunakan Abu Hanifah yaitu Al- Qur’an, sunnah (secara selektif), al- Ra’yu, qiyas, istihsan, dan syar’u man qablana (agama sebelum kita). Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena adanya persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut. Sedangkan istihsan adalah menetapkan hukum terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa karena ada alasan yang lebih kuat. Adapun syar’uman qablana merupakan syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Diantara murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim Al-Anshari (113-182 H) dan Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani (102-189 H). Mazhab Hanafi resmi dipakai oleh daulah Turki Ustmani, dan pada periode Abbasiyah banyak dianut di Irak. Sekarang mazhab ini banyak terdapat di Turki, Suriah, Afghanistan, Turkistan, Bangladesh, Israel, Jordania, Pakistan, Palestina, dan India. Suriah, Lebanon, dan Mesir juga menggunakan mazhab ini secara resmi.
2. Malik Ibn Anas al-Asbahi
Malik Ibn Anas al-Asbahi sebagai pendiri mazhab Maliki lahir pada tahun 713 H dan berasal dari Yaman. Ia tidak pernah meninggalkan kota ini, kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ia meninggal dunia pada tahun 12/795M. Paman beliau termasuk dalam golongan perawi hadits, dengan demikian tidak mengherankan kalau Malik ibn Anas menjadi perawi hadits pula dan dalam pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi oleh sunnah. Ia pernah belajar pada guru seperti Nafi’, Mawla Abdullah Ibn Umar, Ibnu Syihab Al-Zuhri, dan Ibn Hurmuz. Malik Ibn Anas menulis sebuah kitab terkenal “al-Muwatta”, yang merupakan kitab hadits dan fiqh. Dalam kitab ini, hadits diatur didalamnya sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat dalam buku fiqh. Dalam melahirkan produk hukum, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan ijma’ Sahabat. Jika ia tidak mendapatkan dasar hukum dalam Al-qur’an dan As-sunnah, maka ia menggunakan qiyas dan masalih al-mursalah, yaitu maslahat umum. Dengan demikian, sumber hukum yang digunakan oleh Imam Malik, yaitu Al-qur’an, sunnah, tradisi yang berlaku di kalangan sahabat (qaul al-shahabi), qiyas, dan al-mashalih al-mursalah. Malik ibn Anas memiliki banyak murid, diantaranya al Syaibani, al-Syafi’i, Yahya al-Lais, al-Andalusi, Abd. Al-Rahman Ibn al-Qasim di Mesir dan Asad Ibn al-Furat al-Tunisi, Filusuf Ibn Rusyd dan pengarang Bidayah al-Mujtahid termasuk pengikut Malik. Mazhab Maliki ini banyak dianut di Hejaz, Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, Aljazair, Gambia, Ghana, Libya, Nigeria, dan Kuwait.
3. Muhammad bin Idris al-Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Muhammad ibn Idris al-Syafi’i lahir di Ghazza pada tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy. Ia pernah belajar pada Sufyan Ibn Uyaynah dan Muslim Ibn Khalid di Mekkah, dan ketika pindah ke Madinah, ia belajar pada Malik Ibn Anas hingga Imam Maliki ini meninggal dunia. Dalam menetapkan produk hukum, al-Syafi’i berpegang pada lima sumber yaitu Al-qur’an, sunnah nabi, ijma’ atau konsensus, pendapat sebagian sahabat yang tidak mengandung perselisihan di dalamnya, serta qiyas. Murid-murid Imam Syafi’i antara lain di Irak terdapat nama Ahmad Ibn Hambal, Daud Al-Zahiri, dan Abu Ja’far Ibn Jarir al Tabari. Di Mesir terdapat Isma’il al-Muzani dan Abu Yusuf Ya’qub al-Buwaiti. Abu Hamid al-Ghazali, Muhy al-Din al-Nawawi, Taqi al-Din Ali Al-Subki, Taj al-Din Abd, Al-Wahhab Al-Subki dan Jalal al-Din al-Suyuti adalah termasuk ke dalam golongan pengikut besar dari Al-Syafi’i. Mazhab Syafi’i banyak dianut di Indonesia, Ethiopia, Kenya, Malaysia, Singapura, Somalia, Srilanka, Tanzania, dan Yaman. Bahkan Brunei Darussalam menjadikan mazhab Syafi’i sebagai mazhab resmi negara.
4. Ahmad bin Hanbal
Ahmad Ibn Hanbal lahir di Baghdad pada tahun 780 M dan berasal dari keturunan Arab. Pada mulanya ia belajar hadits dan banyak mengadakan perjalanan, tetapi kemudian dia belajar hukum juga. Diantara guru-gurunya terdapat Abu Yusuf dan al-Syafi’i. Kemudian ia sendiri menjadi guru dan mulai termasyhur namanya. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad Ibn Hambal banyak menggunakan lima sumber yaitu Al-qur’an, sunnah, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tentangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah serta qiyas. Diantara murid Ahmad Ibn Hambal yaitu Abu al Wafa’ Ibn Aqil, Abd. Al-Qadir al-jili, Abu al Farraj Ibr, Aljawzi, Muwaffaq al-Din Ibn Qudama, Taqi al-Din Ibn Taimia, Muhammad Ibn al-Qayyim dan Muhammad Abd. Al-Wahhab. Penganut mazhab Ahmad Ibn Hambal ini terdapat di Irak, Mesir, Suriah, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia dan Qatar, mazhab ini merupakan mazhab resmi dari negara.
Persamaan dan Perbedaan Antara Mazhab
1. Perbedaan Pendapat Tentang Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu
a. Keluar Sesuatu Dari Dua Jalan
Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti buang air kecil, buang air besar, keluar madzi, (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat) . Pendapat dari empat mazhab yaitu:
Haanafiyah Apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa.
Malikiyah Mani yang biasa keluar tanpa rasa nikmat tidak diwajibkan mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Adapun batu kecil, ulat, cacing darah dan nanah yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan ketentuan.
Syafi’i Keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya rasa nikmat atau tidak namun, wajib mandi.
Hambali Apabila seseorang terus menerus berhadas, seperti air kencing terus menerus menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap sholat melakukan wudhu.
b. Tidur
Hanafiyah Tidur tidak membatalkan wudhu, akan tetapi tidur dapat membatalkan wudhu dalam tiga hal.
- Tidur dengan berbaring miring
- Tidur telentang diatas punggungnya
-Tidur diatas salah satu pahanya
Malikiyah Tidur dapat membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur nyenyak, baik sebentar maupun lama maupun sebentar, baik tidur dalam keadaan berbaring, sujud atau duduk.
Syafi’i Tidur dapat membatalkan pendapat apabila orang yang yang tidur itu tidak duduk mantap diatas tempatnya.
Hanbali Wudhu seseorang dapat batal dalam keadaan bagaimanapun juga, kecuali apabila tidurnya itu sebentar menurut ukuran urf, sedangkan orang itu dalam keadaan duduk atau berdiri.
c. Bersentuhan Laki-laki dan Perempuan
Hanafiyah Persentuhan laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
Malikiyah Seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan beberapa syarat.
- Sudah baligh
- Merasakan kenikmatan atau rangsangan sesudah
terjadi sentuhan sengaja atau tidak
Syafi’i Kulit lawan jenis yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak.
2. Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Awal Puasa
Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan jumlah bilangan hari dan waktu pelaksanaannya, yakni satu bulan penuh. Ada yang berjumlah 30 hari ada pula yang berjumlah 29 hari. Perintah puasa pertama kali adalah pada tahun ke-2 Hijriah. Untuk menentukan awal dan akhir bulan ramadhan dapat dimulai dengan cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit tanggal satu bulan qamariyah dengan mata telanjang.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “maka diantara kamu sekalian yang menyaksikan akan adanya awal ramadhan haruslah ia puasa” (QS. AL-Baqarah: 185)
Oleh para ulama masih dipersoalkan tentang Hilal (melihat bulan) sebagai berikut:
Imam Hanafi Jika seandainya langit cerah, wajib yang melihat itu semuanya atau orang banyak (melihat bulan). Dan orang tersebut mengatakan ashadu dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.Dan kalau seandainya cuaca tidak cerah (mendung atau berkabut), maka cukup satu orang yang adil, berakal, baliqh (kesaksian). Dan tidak perlu mengucap ashadu.
Imam Maliki Yang melihat hilal itu orang banyak, maka wajib puasa, sekalipun orang yang melihat hilal itu tidak semuanya adil.
Bahwa yang melihat hilal itu 2 orang yang adil.Kalau yang melihat hilal hanya 1 orang (laki-laki), maka yang wajib puasa hanya dia sendiri.
Imam Syafi’i
Melihat oleh orang yang adil, walaupun hanya 1 orang (baik laki-laki atau perempuan) dan wajib mengucap ashadu.Kalau yang melihat hilal itu orang yang tidak adil (baik laki-laki atau perempuan) maka puasa wajib hanya bagi dirinya.
Imam Hambali Diterima,apabila hilal itu dilihat (perkadaan) 1 orang mukallaf (laki-laki atau perempuan, merdeka atau hamba) yang adil, baik adil secara zhahir maupun secara batin. Baik cuaca cerah atau mendung dan mengucapkam ashadu. Kesimpulan hukum bahwa permulaan puasa itu harus berdasarkan atas rukyat bila cuaca cerah, dan atas dasar istikmal (menggenapkan jumlah bilangan bulan Sya'ban) bila cuaca buruk, misalnya karena mendung sehingga tidak memungkinkan dilakukan rukyat.
3. Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Niat Puasa
Sebagaimana diketahui, bahwa niat itu adalah salah satu rukun dri puasa, namun bukan saja puasa, tetapi semua ibadah harus dimulai dengan niat yang ikhlas kepada Allah.Nabi bersabda:
اءنماالا عما ل با لنيا ت ...... (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat…” (HR. Bukhari Muslim)
Mengenai waktu niat, terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:
Imam Maliki Disyaratkan sahnya niat, pada malam hari, dan boleh berniat pada terbit fajar.
Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambali Disyaratkan untuk puasa Ramadhan atau puasa yang lain (seperti puasa qadha, nadzar). Maka dia harus menetapkan niat puasa pada waktu malam hari.
Hanafi Bagi orang yang berpuasa, lebih afdhal berniat pada terbit fajar jika memungkinkan, atau pada malam hari.
D. Ruang Lingkup Kajian Fiqh
Berdasarkan berbagai pemaparan diatas, terutama berbagai definisi yang dipaparkan oleh para ulama ahli ushul fiqh, dapat diketahui ruang lingkup kajian (maudhu’) dari ushul fiqh secara global diantaranya:
1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4. Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat (mujtahid)
dengan berbagai permasalahannya.
Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya yang bertajuk Al-Mustashfa (tanpa tahun, 1:8) ruang lingkup kajian ushul fiqh ada empat, yaitu:
1. Hukum-hukum syara’ karena hukum syara’ adalah tsamarah (buah atau hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.
2. Dalil-dalil hukum syara’ seperti al-kitab, ijma’ karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
3. Sisi penunjukan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah) karena ini adalah thariq al-istitsmar (jalan atau proses pembuahan). Penunjukkan dalil-dalil ini ada empat yaitu, dalalah bil-manthuq (tersurat), dalalah bil-mafhum (tersirat), dalalah bil-dharurat (kemadharatan), dan dalalah bil-ma’na al-ma’qul (makna rasional).
4. Mustatsmir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum-hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.
E. Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Fiqh dan Manfaatnya Bagi Kehidupan
Agama Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan. Rasulullah Saw pernah memerintahkan kepada orang yang sedang membaca Al-qur’an agar menghentikan bacaanya apabila bacaanya itu akan menimbulkan perpecahan. Hadist tersebut Rasulullah katakan, karena Rasulullah takut dengan adanya perselisihan dan akan menimbulkan perpecahan antar umat. Keutamaan membaca Al-qur’an sangat besar, bahkan setiap huruf yang dibaca akan mendapat ganjaran sepuluh kebaikan. Rasulullah mengajarkan kepada kita, bahwa setiap suatu kebaikan yang dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan lebih baik tidak diteruskan. Pada zaman Rasulullah Saw juga pernah menyuruh sahabat membubarkan majelis jika pada saat itu terjadi perselisihan. Jika suatu perselisihan menyangkut tentang pemahaman makna, kita harus berpegang teguh kepada paham yang akan membawa persatuan umat. Jika terjadi suatu perselisihan yang akan menimbulkan perpecahan di antara umat, hendaklah ditinggalkan dan berpegang teguhlah kepada seseorang yang mengerti tentang hal tersebut yang akan membawa persatuan. Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mentasyabih dari Al-qur’an, hendaklah kamu waspada kepada mereka.”
Hadits tersebut Rasulullah Saw menganjurkan untuk selalu memegang teguh persatuan dan mengcam perpecahan dan perselisihan, serta melarang memperdebatkan Al-qur’an tanpa ada suatu kebenaran. Bagi ilmu fiqh, perbedaan pendapat sudah bukan hal yang baru. Semua mempunyai argumen masing-masing yang tidak terlepas dari Al-qur’an dan Hadits. Sebagai hamba yang beriman kita harus bisa menerima perbedaan pendapat tersebut karena itu merupakan hakikat-Nya. Kita perlu menanggapinya secara wajar dan menjunjung tinggi rasa toleransi serta menjalin interaksi terhadap golongan yang tidak sepaham dengan kita.
Pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan adalah wajib bagi seluruh umat muslim, karena begitu pentingnya peran persatuan umat. Persatuan akan memperkuat orang-orang yang lemah dan menambah kekuatan bagi orang-orang yang kuat. Satu batang lidi akan mudah dipatahkan dari pada sekumpulan batang lidi. Allah Swt berfirman dalam surat ash-Shaff yang artinya, “Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya berbaris seolah-olah mereka satu bangunan yang kokoh.”
Menyikapi perbedaan pendapat memang sedikit sulit, karena banyak diantara umat sering mementingkan egoisme masing-masing dan menganggap bahwa merekalah yang paling benar. Perbedaan pendapat dapat disikapi sebagai berikut:
1. Ikhlas karena Allah dan harus terbebas dari hawa nafsu. Hawa nafsu hanya akan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Allah Swt berfirman dalam surat an-Nahl yang artinya, “Apa yang di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” Ayat tersebut mengajarkan kepada kita, bahwa apa yang kita banggakan akan lenyap, begitupun dengan pendapat kita.
2. Pentingnya meninggalkan fanatisme berlebihan terhadap individu. Seseorang yang fanatik terhadap pendapat pribadi, pendapat orang lain, terhadap mazhab, terhadap kelompok atau golongan biasanya ia akan senantiasa mempertahankan pendapatnya sekalipun ada bukti yang kuat yang bisa mematahkan pendapatnya tersebut. Ia akan senantiasa mengikuti hawa nafsunya dan bisa melecehkan orang lain.
3. Selalu berprasangka baik kepada orang lain. Satu hal yang penting adalah pendapat yang kita yakini benar selalu ada kemungkinan untuk salah. Allah Swt berfirman dalam surat al-Hujarat yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa…”
4. Tidak menyakiti dan mencela. Islam adalah agama yang jauh dari kekerasan. Selalu gunakan bahasa yang halus yang tidak menyakiti perasaan orang lain.
5. Menjauhi permusuhan yang sengit. Perdebatan dalam perbedaan pendapat memang sulit untuk dihindari. Membantah dengan logika dan argumentasi yang bijak dan penuh pertimbangan. Jauhi perdebatan yang akan menjatuhkan dan mengalahkan lawan.
6. Dialog dengan cara yang baik. Dialog yang baik adalah dialog yang tidak menjatuhkan dan mengalahkan lawan. Pendapat selalu diperkuat dengan bukti yang kuat dan relevan.
Perselisihan dalam masalah fiqh serta dan dalam persoalan-persoalan kecil, jangan dianggap sebagai suatu penghalang untuk persatuan, saling toleransi adalah kunci utama dalam menghadapi perbedaan. Saling menyatukan barisan antar umat bahkan antar kelompok untuk menghadapi musuh Islam dan mewujudkan tujuan besar yang disepakati oleh semua pihak.
Manfaat bila kita menyikapi perbedaan ini adalah tetap terjaganya kesatuan dan persatuan umat, umat Islam tetap kokoh dalam menerjang ombak badai kehidupan, dan terciptanya rasa kasih sayang antar umat.