Teori yang menjelaskan tentang masuknya Islam ke Indonesia cukup variatif sesuai dengan bukti historis yang para sejarawan temukan. Suatu teori menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, ada pula yang menyebutkan pada awal abad ke-13 M.
Menurut Hanum Asrohah menyebutkan bahwa ada tiga teori tentang proses islamisasi di Indonesia, yakni pertama, teori bahwa Islam dibawa ke Nusantara melalui para pedangang Gujarat dan Arab Saudi. Kedua, Islam juga tersebar di Indonesia melalui para ulama (mullah). Atau dengan kata lain, menurut teori ini proses islamisasi di Indonesia pernah dilakukan juga melalui jalur-jalur pendidikan sebagai mana yang pernah dilakukan Maulana Malik Ibrahim, Syekh Ishak dan sebagain. Dan ketiga, melalui jalur kekuasaan keraton. Teori ini mengindikasikan bahwa raja-raja di Nusantara ketika itu memiliki peran dan pengaruh signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Seorang raja yang telah masuk Islam biasanya akan diikuti oleh rakyat secara serentak sementara Uka Tjandrasasmita sebagaimana dikutip Badri Yatim menyebutkan bahwa saluran-saluran islamisasi melaui enam cara yaitu :
1. Jalur Perdagangan
Tradisi berdagang dengan cara berpindah dari satu negara ke negara lainnya (nomaden) merupakan satu tradisi dan karakteristik yang pernah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Arab, India, dan Gujarat. Bahkan bisnisberdagang dijadikan sebagai jalan alternatif dalam mengais rizki sekaligus penyebaran Islam di dunia, termasuk penyebaran Islam di Indonesia.
Pada masa awal, saudagar-saudagar muslim dikenal cukup mendominasi perdagangan di Nusantara. Hubungan pergaulan antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat pada akhirnya dapat menarik hati penduduk setempat untuk memeluk Islam.
2. Jalur Perkawinan
Penyebaran Islam di Indonesia banyak didukung dengan adanya hubungan perkawinan antara bangsawan yang notabene pedagang Muslim dengan para wanita dari para bangsawan. Mungkin tidak sedikit para ulama (mullah) yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada masyarakat Indonesia yang kemudian diambil menantu oleh para bangsawan terkemuka. Sebut saja Sunan Ampel (Raden Rahmat) kawin dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Djati kawin dengan kawunganten, dan sebagainya.
3. Jalur Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau sufi, mengajar teosofi yang bercampur mahir dalam soal-soal magic dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran di Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh Syeh Lemah Abang dan Sunan Penggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Jalur Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok-pondok itu, calon agama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam.
5. Jalur Kesenian
Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikata, Sunan Kalijaga adalah tokoh yanng paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabrata dan Ramayana, tetapi dalam cerita itu disisipkan ajaran-ajaran dan nama-nama Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi, seperti sastra (hikayat, adat dan sebagainya), seni bangunan,dan seni ukur.
6. Jalur Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Disamping itu, baik di Sumatra dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam secara politis banyak menarik para penduduk kerajaan bukan Islam itu masih Islam.
B. Corak Paham Keislaman Yang Masuk KeIndonesia
Corak menurut KBBI arti ke tiganya adalah sifat (paham, macam, bentuk) tertentu . Corak awal paham keislaman di Nusantara dapat di lihat dari tiga aspek penting yang terdapat dalam kehidupan masyarakat yaitu aspek politik, aspek hukum, dan aspek bahasa. Corak paham keislaman ini dipengaruhi oleh tasawuf.
Tasawuf, pengajar-pengajar tasawuf, atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan .
Dalam aspek politik dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir.Pengambil alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini merupakan konflik yang terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah memeluk agama Islam menginginkan kehidupan yang adil di bawah pimpinan yang adil pula. Maka dalam hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin didapatkan apabila pemimpin sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya.
Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya.Banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak terlepas dari adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja.
Dengan demikian, terjadi kontak antara Raja dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun akan membantu penyebaran dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.
Dalam aspek hukum, Adanya sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat akan diatur. Sebelum masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan kedua hukum tersebut.
Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya.
Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.Sebagai contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab Syafi’i.
Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara hukum Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam aspek bahasa, Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan, khususnya pada masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara pada umumnya berlangsung damai.Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas.
Wilayah Muslim Asia Tenggara (Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini. Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum Muslim.Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.
Dari aspek tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan.
C. Para Tokoh Yang Berperan dalam Membawa Islam Ke Indonesia
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran aktif yang dilakukan oleh para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat Nusantara. Para ulama yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara antara lain sebagai berikut:
1. Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur, Aceh. Tetapi juga ke India, Persia, Makkah dan Madinah. Karena itu ia menguasai berbagai bahasa selain bahasa Melayu. Dalam pengembaraannya itu, ia sempat mempelajari ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah dan sastra Arab. Usai menjalani pengembaraan intelektualnya, Hamzah Fansuri kembali ke kampung halamannya di Fansur, Aceh, untuk mengajarkan keilmuan Islam yang diperolehnya dari guru-guru yang didatanginya di negeri-negeri yang telah disinggahi. Ia mengajarkan keilmuan Islam tersebut di Dayah (pesantren) di Obob Simpangkanan, Singkel.
2. Syamsudin Al-Sumatrani
Syamsudin Al-Sumatrani merupakan salah seorang ulama terkemuka di Aceh dan Nusantara yang hidup pada abad ke-16. Syamsudin Al-Sumatrani memiliki peran dan posisi penting di istana kerajaan Aceh Darussalam, karena is berprofesi sebagai Qadli (Hakim Agung), juga kedekatannya dengan Sultan Iskandar Muda sebagai seorang Syeikh Al Islam. Syeikh Al Islam merupakan gelar tertinggi untuk ulama, kadi, imam atau syeikh, penasihat raja, imam kepala, anggota tim perundingan dan juru bicara Kerajaan Aceh Darussalam. Karya-karya Syamsudin Al-Sumatrani adalah Jaubar Al-Haqaid, Risalah Al-Baiyyin al-Mulahaza Al-Muwahhidin Wa Al-Mubiddinfi Dzikr Allah, Mir’ah Al-Mukminin, Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri, Syarah Syair Ikan Tongkol.
3. Nuruddin Ar-Raniri
Nuruddin Ar-Raniri dilahirkan di Ranir (sekarang Render), sebuah pelabuhan tua di Gujarat. Ayahnya berasal dari keluarga imigran Arab Hadramy, Arab Selatan, yang menetap di Gujarat India. Meskipun ia keturunan Arab, Ar-Raniri dianggap lebih dikenal sebagai seorang ulama Melayu dari pada India atau Arab. Raniri diangkat sebagai Syeikh Al Islam, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani. Dengan memperoleh dukungan dari sultan, Ar-Raniri mulai melancarkan berbagai pembaruan pemikiran Islam di tanah Melayu, khususnya di Aceh. Selama lebih kurang tujuh tahun, ia menentang doktrin wujudiah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Diantara karya Ar-Raniri adalah Shiratal Mustaqiem dalam bidang tasawuf, dan Durratul Aqaid bisyarbil-Aqaid dalam bidang akidah Islam.
4. Syeikh Muhammad Yusuf Al-Makassari
Muhammad Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin Al-Tajul-Khalwati Al-Makassari, dilahirkan di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama. Ia belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf kepada Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘Allaham Al-Thahir, seorang Arab yang menetap di Bontoala. Setelah berusia 15 tahun, ia melanjutkan pelajarannya di Cikoang dengan Jalaluddin Al-Aydid, seorang guru pengembara yang datang dari Aceh ke Kutai, sebelum sampai di Cikoang.Diantara karyanya adalah menyalin kitab Ad-Durrah Al-Fakbira (Mutiara yang Membanggakan), dan Risalah fil-Wujud (Tulisan tentang Wujud).
5. Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani
Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani lahir di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Abmad, di didik ayahnya dalam bidang agama, ilmu kalam, ilmu nahwu, fikih dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat.
Syeikh Nawawi A-Bantani termasuk salah seorang ulama Nusantara yang cukup berpengaruh dan sangat dihormati, bukan hanya di kalangan komunitas melayu Nusantara tetapi juga oleh masyarakat Haramain secara keseluruhan. Posisi sosial keagamaan dan intelektual yang dimilikinya memberi kesempatan kepadanya untuk mengajar pada berbagai halaqah di Masjidil Haram sejak tahun 1860, khususnya di Ma’had Nashr Al-Ma’arif Ad-Diniyah, hingga akhirnya ia memperoleh gelar sebagai “Syeikh Al-Hijaz”.
6. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada tahun 1276 H/1855 M. Ayahnya adalah seorang jaksa di Padang, sedangkan ibunya adalah anak dari Tuanku Nan Renceh, seorang ulama terkemuka dari golongan Padri. Ahmad Khatib kecil memperoleh pendidikan awal pada sekolah pemerintah yang didirikan Belanda, yaitu sekolah rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Kemudian pada tahun 1876, Ahmad Khatib melanjutkan pendidikan agamanya di Makkah, tempat kelak ia memperoleh kedudukan tinggi dalam mengajarkan agama dan imam dari madzhab Syafi’i di Masjidil Haram.
7. Wali Songo
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14 M. Mereka tinggal ditiga wilayah penting pantai utara pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang berperan. Namun peran mereka yang sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung membuat para Walisongo ini banyak disebut dibanding yang lain.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik pada tahun 1404 M. Walisongo adalah pembaruan masyarakat pada masanya. Pengaruhnya mereka terasakan dalam berragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan. Adapun sembilan nama yang dikenal Walisongo tersebut adalah Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati.
a) Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo Kota Gresik Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya. Beberapa vers babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
b) Sunan Ampel
Dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
c) Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 M, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di Kabupaten Rembang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
d) Sunan Drajat
Dia juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
e) Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih,Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putrid Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu, lalu Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini. Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
f) Sunan Kudus
Nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
g) Sunan Kalijaga
Nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
h) Sunan Muria
Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau Jawa adalah Sunan Muria. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara Kota Kudus sekarang).
Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya .
Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan suna Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwak tapa ngeli yaitu menghanyutkan diri dalam masyaraka
i) Sunan Gunung Jati
Nama aslinya Syarif Hidayatullah, adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
D. Pengaruh Islam dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia
Dalam persoalan politik kehadiran Islam di beberapa tempat mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahhirkan kesatuan-keesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan . Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Bagi Nurcholis Majid kondisi Islam yang seperti itu dengan dua alasan sebagai berikut, pertama, sifat Islam sebagai aagama egaliter radikal yang berakibat pada penyudahan system kasta masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati (keharusaan seorang janda untuk terjun ke bara api yang juga digunakan untuk membakar jenazah suaminya). Kedua, Islam dengan kesadaran hukukmnya yang amat kuat telah dilengkapi penduduk Nusantara khususnya para pedagang dengan sistem hukum yang berjangkauan internasional yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang dalam kekuasaan Islam.
Dalam bidang ekonomi sosial juga Islam telah membuka massyarakat untuk senantiasa berlaku adil dalam melakukan transaksi, tidak berbuat curang dalam timbangan, harus ada kesepakatan antara penjual dan pembeli serta bagaimana konsep keseimbangan, tidak boros atau tidak berlebihan yang dianjurkan al-Qur’an juga mampu menciptakan suasana kehidupan manusia yang sehat, damai dan sejahtera.
E. Pengaruh Islam Sebelum Kemerdekaan
Sejak kedatangan Islam di Indonesia paling tidak telah menumbuhkan semangat baru lagi bagi masyarakat yang waktu itu masih depan yang cukup cerah atau terarah. Tampilan Islam dengan tidak serta merta menolak ajaran-ajaran agama terdahulu dipandang masyarakat sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai dan norma agama yang selama ini masyarakat Indonesia yakini. Sehingga pada gilirannya masyarakat dapat menerima Islam sebagai sesuatu ajaran utuh yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses pengamalan Islam tidk dalam konteks ibadah, akidah, tetapi bagaimana Islam telah dipraktekkan masyarakat dalam kancah politik.
Dalam kancah politik, Islam memiliki doktrin bahwa rasa nasionalisme terhadap tanah air, cinta tanah air (hubbul wathan) menjadi cirri mendasar agama Islam itu sendiri. Doktrin yang dimiliki agama Islam tersebut yang pada akhirnya menggugah rasa nasionalisme yang kuat terhadap hati mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia untuk berjuang dalam mempertahankan bumi pertiwi.
F. Pengaruh Islam Setelah Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan umat Islam terus berusaha dan berjuang terutama dalam rangka pembinaan moralitas bangsa, mengisi pembangunan, perbaikan pendidikan, dan perbaikan sumber daya manusia Indonesia. Kehadiran Departemen Agama (Depag) dapat dikatakan satu diantaraa banyak kontribusi yang dilakukan umat Islam. Departemen ini didirikan 3 januari 1949 berdasarkan UUD 1945 pasal 29 bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan bahwa Negara menjamin kemerdekaan atas tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.
Perananan umat Islam dalam mengisi kemerrdekaan dapat dilihat dari berrbagai serangkaian usaha, tindakan yang kemudian menimbas kepada lahirnya organisasi seperti, MUI, ICMI, Bank Muamalat Indonesia (BMI), lembaga pemerintahan seperti Depag RI, perrundang-undangan sepeerti undang-undangan peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta berbagai kegiatan yang bernuansa Islam seperti festifal isriqlal, labelisasi halal, dan lain sebagainya.
Selain itu juga, lahirnya lembaga-lembaga keagamaan seperti Majlis Ta’lim, Masjid, Pesantren-salaf dan modern, serta munculnya fenomena Islamic Boarding School merupakan kontribusi riil yang coba dimaninkan umat Islam. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut secara tidak langsung telah member warna tersendiri bagi perjalanan sejarah Sistem Pendidikan Naional.
Dengan demikian, umat Islam Indonesia sebagai masyarakat yang mayoritas telah membuktikan dirinya sebagai masyarakat yang memiliki kemampuan serta mampu berperan dalam berbagai hal, baik dalam institusi, birokrasi, perpolitikan, maupun dalam lembaga pendidikan formal, informal, dan non forma.