1. Tokoh
Teolog
A. washil
bin atha
·
Biografi
Nama Washil bin Atha sering juga disebut Abu Huzhaifah
dan lebih terkenal dengan gelar al-Gazzal. Ia dilahirkan pada tahun 80 H di
Madinah dan meninggal dunia pada tahun 131 H di Bashrah.
Sejak kecil, Washil bin Atha sudah memperlihatkan
kesungguhannya dalam mengkaji al-Qran, Hadis Nabi, dan ilmu-ilmu lain. Pada
mulanya ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah.
Selanjutnya, ia banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekah dan mengenal ajaran
Syi’ah di Madinah. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru
pada Hasan al-Bashriy.
Washil bin Atha termasuk murid yang cerdas dan berani
di antara sekian banyak murid Hasan al-Bashriy. Ia tidak segan-segan berbeda
pendapat dengan siapa pun juga, sekalipun membawa dampak harus berpisah dengan
orang yang dicintainya, yaitu gurunya, Hasan al-Bashriy, lantaran perbedaan
pandangan dengannya mengenai pelaku dosa besar. Setelah itu, Washil bin Atha
membentuk majlis tersendiri dan mendapat pengikut yang pesat dalam waktu yang
singkat.
Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Washil bin Atha
banyak mengalami tantangan dan hambatan yang datang silih berganti dari
kalangan masyarakat awam, karena mereka sulit menerima ajaran yang bersifat
rasional dan filosofis. Selain itu, ajaran Washil tersebut dinilai oleh
masyarakat awam sebagai ajaran yang tidak berpegang pada sunnah Rasullah saw.
dan para sahabatnya. Namun, Washil memperoleh dukungan dari kalangan
intelektual dan juga penguasa Abasiyah, yaitu pada masa pemerintahan al-Ma’mun
(198-218 H/ 813-833 M), bahkan ajaran Washil bin Atha itu dinyatakan sebagai
mazhab resmi negara.
·
Karya-karyanya
1) Kitab Ashnaf
al-Murji’ah
2) Kitab
At-Taubah
3) Kitab Al
Manzilah Bain al-Manzilatain
4) Kitab
Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar-Ra’y
5) Kitab Ma’ani
al-Quran
6) Kitab
Al-Khithab Fi at-Tauhid Wa al-’Adl
7) Kitab Ma
Jara Bainahu Wa Baina Amr Bin Ubaid
8) Kitab
As-Sabil Fi Ma’rifati al-Haq
9) Kitab Fi
ad-Da’wah
10) Kitab
Thabaqat Ahli al-Ilmi Wa Ghairi Dzalik
·
Pemikirannya
Washil bin Atha' dikenal sebagai pendiri Mu'tazilah
yang terkenal dengan pendapatnya mengenai Manzilah baina al-Manzilatain, namun
demikian pandangannya mengenai perbuatan manusia cukup menyita banyak
perhatian. Pandangannya mengenai perbuatan manusia telah diperjelas oleh para
pemimpin mu'tazilah setelahnya. Pandangannya juga telah memunculkan berbagai
pemikiran kalam mengenai perbuatan manusia dari berbagai aliran kalam lainnya.
Pandangan Washil mengenai kebebasan manusia dalam
memilih perbuatan sanagtlah menarik untuk dipertautkan dengan pendidikan yang
memiliki konsep membimbing dan mengarahkan manusia.
B. Abul
Hasan Al-Asy'ari
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dilahirkan pada tahun
260 H di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad, Awal mulanya Al-Asy'ari mengikuti Madzhab
Mu'tazilah yang diajarkan oleh ayah tirinya yaitu Imam Ali Al-Jubba'i
Al-mu'tazili. Bahkan Al-Imam Al-Asy'ari sering menggantikan ayah tirinya untuk
menghadiri Majelis perdebatan, dan semua orang mengakui kecerdesannya dan
ilmunya. Sampai pada umur 40 tahun Al-Imam Al-Asy'ari menjadi Imamnya
Mu'tazilah akhirnya Al-Imam Al-Asy'ari keluar dari Madzhab Mu'tazilah
dikarenakan muncul sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ayah tirinya
yaitu Ali Al-Jubba'i.
Al-Imam Asy'ari keuar dari Madzhab Mu'tazilah yang
katanya Madzhab Mu'tazilah selalu mendahulukan/mengunggulkan Rasio (akal).
Dan sekarang cenderung kepada pemikiran Aqidah
Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20.
·
Karya-karyanya
1. Maqalat
al-Islamiyyin
2. Al-Ibanah
'an Ushulid Diniyah
3. Al-Luma
4. Idhāh
al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyā
5. Tafsir
al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi')
6. Ar-Radd
'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān
7. Al-Fushul
fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-Millah
8. Al-Qāmi'
likitāb al-Khālidi fi al-Irādah
9. Kitāb
al-Ijtihād fi al-Ahkām
10. Kitāb
al-Akhbār wa Tashhihihā
11. Kitāb
al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām
12. Kitāb
al-Imāmah
13. At-Tabyin
'an Ushuli ad-Din
14. Asy-Syarhu
wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-Tadhlil
15. Al-'Amdu
fi ar-Ru'yah
16. Kitāb
al-Maujiz
17. Kitāb
fi Khalqi al-A'māl
18. Kitāb
ash-Shifāt
19. Kitāb
ar-Radd 'ala al-Mujassimah
20. An-Naqdh
'ala al-Jubbā'i
·
Pemikirannya
a. Tuhan
dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim.
Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang
berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan
sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia
berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah
tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau
kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di jelaskan secara
alegoris.
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki
sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh
diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok
siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya
mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut
realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda
dengan-Nya.
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk
memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat
yang ekstrim, yakni Jabariah yang
fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang
menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.
Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia
sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan
segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c. Akal
dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui
pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan
di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.
d. Qadimnya
Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan
(makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang
mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak
diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi
Al-Qur'an adalah qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang
saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari
tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat (Q.S. An-Nahl:40)
e. Melihat
Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks
ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di
akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak
sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di
akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.
Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa
Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari
tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga
ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa
Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari
visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah
adalah pemilik mutlak.[21]
g. Kedudukan
orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut
Mu’tazilah.[22] Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat
bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir.
Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufr.
C. Ibnu
Taimiyah
Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin
Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu
Taimiyah saja, lahir 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H – wafat: 1328/20
Dzulhijjah 728 H, adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal
Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu
generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu
generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk
kehidupan Islam.
Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin
bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul
Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama
yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an
(hafidz).
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan
pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia
enam tahun (tahun 667 H/1268M), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus
disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda
kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan
mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri
itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut
tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai
ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia
telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah
dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir. Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah
para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya
kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan
belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
·
Karya-karyanya
1.
Majmu’ Al-Fatawa (disusun oleh Ibnu Al-Qasim)
2.
Dar`u At-Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql
3.
Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah
4.
Naqdhu At-Ta`sis
5.
Al-Jawaab Ash-Shahih liman Baddala Diin al-Masiih
6.
Ar-Radd ‘ala Al-Bakrie (Al-Istighatsah)
7.
Syarah Hadits An-Nuzul
8.
Syarah Hadits Jibril (Al-Iman Al-Ausath)
9.
Kitab Al-Iman
10.
Al-Istiqamah’
11.
As-Siyasah Asy-Syar’iyah
12.
Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim
13.
Al-Fatawa Al-Kubra
14.
Majmu’ah Ar-Rasaa`il Al-Muniriyah
15.
Majmu’ah Ar-Rasaa`il al-Kubra
16.
Fatawa Al-Hamawiyah
17.
At-Tis’iniyah
18.
Syarah Al-Ashfahaniyah
19.
At-Tadmuriyah
20.
Al-Wasithiyah
·
Pemikirannya
Metode berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat
dilihat dalam bukunya Majmu’ al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini,
nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada
salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan
hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadith.
Setiap ahli fiqh dari keempat imam madzhab yang sudah
kita kenal, masing-masing mempunyai dasar-dasar pokok sebagai sandaran dan
tempat kembalinya di dalam pengambilan hukum. Ibnu Taimiyyah bukanlah imam
madzhab yang mempunyai dasar-dasar pokok, sebagaimana keempat madzhab (Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Hukum-hukum fiqh yang ia istinbatkan bersandar
kepada imam madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin Hanbal. ushul fiqh yang mewarnai
fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah sebagai
berikut
1. Kitab
dan Sunnah
Al-Qur'an dan hadith merupakan sumber utama dari
pengambilan hukum Islam. Mengenai hadith, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi
tiga macam:
Pertama:
Sunnah Mutawatirah, yaitu sunnah Rasul yang menafsirkan al-Qur'an dan tidak
bertentangan dengan dhahirnya. Misalnya, mengenai jumlah shalat fardhu dan
rakaatnya sehari semalam, ukuran nisab zakat, manasik haji, dan lain
sebagainya.
Kedua:
Sunnah Mutawatirah tetapi tidak menjadi tafsiran dari al-Qur'an, atau yang pada
dhahirnya bertentangan dengannya, tapi membawa hukum baru, seperti
hadith-hadith yang mendatangkan hukum baru yang tidak terdapat dalam nash, tapi
tidak bertentangan pada dhahirnya. Misalnya, nisabnya mencuri, rajamnya bagi pezina,
dan lain sebagainya.
Ketiga:
khabar ahad yang sampai kepada kita melalui riwayat-riwayat yang kuat
(thiqa>t) dari riwayat-riwayat yang kuat pula. Ibnu Taimiyyah menganggap ini
sebagai hujjah atau salah satu dalil pokok dari ushul fiqh.
Ibnu Taimiyyah benar-benar memperhatikan sunnah dan
mengamalkannya sebaik mungkin jika ia shahih, meskipun hadith itu berupa khabar
ahad. Menurut Ibnu Taimiyyah, menolak hadith tersebut berarti menentang
keumuman al-Qur'an maupun dhahirnya.
Pendapat ini senada dengan Abu Hanifah, dan Imam Malik yang juga menambahkan
bahwa menolak hadith tersebut berarti menentang praktek penduduk Madinah.
2. Ijma'
Ijma' yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin
adalah ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan oleh ulama'-ulama'
selain mereka keabsahannya diragukan. Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar
hukum.
Mengenai ijma' yang datang setelah para sahabat ini,
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa jika para ulama' ijma' atas suatu hukum, maka
tak seorang pun boleh keluar dari ijma' itu karena suatu umat tidaklah berijma'
atas sesuatu kesesatan. Namun Ibnu Taimiyyah tak berhenti sampai di situ, ijma'
itupun harus mempunyai sandaran kembali dari nash al-Qur'an dan hadith. Ijma'
yang seperti inilah yang dia anggap patut dijadikan salah satu hujjah atau
dalil hukum.
Bagaimana jika terjadi pertentangan antara ijma'
dengan nash yang datang dari Rasulullah, apakah ijma' itu yang diambil dan
menjadi nasikh bagi nash? Atau mengambil nashnya dan meninggalkan hukum yang
berdasar ijma'?.
Menurut Ibnu Taimiyyah mustahil ada ijma' yang
bertentangan dengan nash Rasul. Jika memang ada nash yang bertentangan dengan
ijma' maka di samping ijma' itu pasti ada nash lain yang menerangkan
penghapusan nash yang pertama.
Dalam
kitab Ma'a>rij al-Wus}u>l, Ibnu Taimiyyah menerangkan bahwa sunnah tidak
pernah menasakh hukum yang telah ditetapkan al-Qur'an, sebagaimana sunnah tak
pernah dinasakh oleh ijma'.
3. Qiyas
Qiyas yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih
yang sesuai dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat dalam pengambilan hukum,
dan dinyatakan oleh Rasulullah serta menanggapi kebenarannya sewaktu beliau
hidup dan melihat ada sahabat yang melakukannya.
Dalam risalahnya, Ibnu Taimiyyah menerangkan tentang
qiyas yang benar, bentuk dan syarat yang harus dimiliki dan didapat dalam qiyas
itu, yaitu:
a. 'Illat
hukum tasyri' yang terdapat dalam asal harus juga ada di dalam cabang (furu'),
tanpa ada pertentangan dalam cabang yang menjadi penyebab terlarang penentuan
hukum 'illah itu.
b. Qiyas
dengan pembatalan pembeda antara dua bentuk itu (asal dan cabang). Antara
keduanya, asal dan cabang tidak boleh ada pembeda yang mempengaruhi syara'.
Menurut Ibnu Taimiyyah, qiyas yang shahih adalah qiyas
yang sejalan dengan nash. Nash tak pernah bertentangan dengan qiyas. Sedangkan
qiyas yang salah bisa bertentangan dengan nash. Dalam syari'at tak ada suatu
perkara yang bertentangan dengan qiyas.
4. Istishab
Menurut Ibnu Taimiyyah, istishab adalah tetap
berpegang pada hukum asal, selama hukum itu belum diketahui tetap ada atau
sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi ketidakadaan ittifa
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu masalah
yang sedang hangat terjadi di masyarakatnya, kemudian dia diminta pendapatnya,
dan tidak mendapatkan nash dari al-Qur'an hukum masalah itu, mubah atau haram,
maka dia harus memilih mubahnya, sebab asal dari segala sesuatu itu mubah,
kecuali yang sudah diharamkan oleh syara'. Ibahah atau pembolehan itu merupakan
keadaan yang keseluruhan ciptaan Allah yang ada di atas bumi. Jika tak ada
hukum syara' yang menentukan perubahan ibahah itu, maka ia pun tetap berada
dalam hukum mubah (hukum asal).
5. Mashlahah
Mursalah
Ibnu Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benar-benar
memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada fiqh imam Ahmad bin Hanbal.
Namun ketika berbicara mengenai ushul fiqh, dia tidak membicarakan masalah
maslahah mursalah, padahal madzhab-madzhab yang lain membicarakannya.
Namun dalam salah satu buku yang membicarakan tentang
usul fiqh, Ibnu Taimiyyah membicarakan pula maslahah mursalah. Namun dia
ragu-ragu mengenai hakikat dan kebenarannya, dan ragu-ragu menerimanya. Hal ini
dikarenakan pada masanya penuh dengan berbagai aliran pemikiran sesat, filsafat
dan sufi, serta arus pemikiran lain yang menentang Islam. Sebagian sultan dan
raja mempergunakan pakain tertentu dengan maksud dan keyakinan dapat menolak
bahaya yang datang, dan lain sebagainya.
Jumhur ulama' menolak maslahah mursalah secara mutlak.
Cuma Imam Malik yang menerimanya secara mutlak. Hal ini sebenarnya cukup
mengherankan, sebab Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, sama-sama menetapkan ushul
hukum maslahah mursalah ini dalam berbagai ketetapan hukum fiqh, seperti dapat
kita baca dari kitab-kitabnya
2. Filosof
A. Imam
Al-Ghazali
·
Biografi
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan
dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah
Khurasah yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia
islam.
Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana,
ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil
tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi,
seperti terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya
menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat.
Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan
anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil
dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan
dan didikan.
Antara tahun 465-470 H. imam Al-Ghazali belajar fiqih
dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al- Radzaski di Thus, dan dari Abu
Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama
3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil
belajar tasawuf kekpada Yusuf Al Nassaj (w-487 H). pada tahun itu imam
Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq.
Menurut Abdul Ghofur itu Ismail Al- Farisi, imam al-Ghozali menjadi pembahas
paling pintar di zamanya. Imam Haramain merasa bangga dengan pretasi muridnya
·
Karya karyanya
1. Maqhasid
al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi
masalah-masalah filsafah.
2. Tahaful
al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada
di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali
mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras.
3. Mi’yar
al-‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).
4. Ihya’
ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya
yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara
Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan
filsafat.
5. Al
munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah
perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
6. Al-ma’arif
al-aqliyah (pengetahuan yang nasional)
7. Miskyat
al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan
tasawuf.
8. Minhaj
al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan).
9. Al
iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).
10. Ayyuha
al walad.
11. Al
musytasyfa
12. Ilham
al –awwam an ‘ilmal kalam.
13. Mizan
al amal.
14. Akhlak
al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari
kejahatan).
15. Assrar
ilmu addin (rahasia ilmu agama)
16. Az-zariyah
ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia)
17. Al
hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat
kepada para raja).
18. Al
mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul
fiqih).
19. Syifa
al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki
penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan).
20. Tarbiyatul
aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam)
·
Pemikiran Filsafat
Al-Ghazali
a. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari
karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah
mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan
bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat
sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan
bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu
logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya
yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang
meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai
menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil
kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf
tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang
hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang
fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali
tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang
lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada
pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan
dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih
dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
b. Iradat
Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan
undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu
dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa
sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali
seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat
Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari
kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak
mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak
bisa terbakar oleh api.
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus
dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata
lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan
pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal
“Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat
al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih,
pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap
Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan
menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip
filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang
tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa
kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang
berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang
termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh,
tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna
mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa
yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
B. Al-
Kindi
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu
Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais
al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama
kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang
menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan
yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal
untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari
keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur
Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami
masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun,
Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke
Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi
Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas,
yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun
mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh
karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu
alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran,
matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu
lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan
Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf
al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab)
·
Karya-karyanya
1. Kitab
Al-Kindi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama),
2. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il
al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat
yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
3. Kitab
fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat
tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
4. Kitab
fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam
kategori-kategorinya),
5. Kitab
fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya),
6. Risalah
fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang
definisi benda-benda dan uraiannya),
7. Risalah
fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan),
8. Kitab
fi Ibarah al-Jawami’ al Fikriyah (tentang
ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif)
9. Risalah
al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang
rahasia-rahasia spiritual).
10. Dan
Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad
(tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan
kerusakan).
·
Pemikirannya
1. Pemaduan
Filsafat dan Agama
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan
mengupayakan pemaduan antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu.
Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing keduanya
adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu
filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain
yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan
menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para
rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan
yang diridhai-Nya.
Agaknya untuk memuskan semua pihak, terutama
orang-orang Islam yang tidak senang dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya
ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam
mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang memerintahkan
pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini.
2. Falsafat
Ketuhanan
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat
dalam arti aniah dan mahiah. Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam
alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk.
Tuhan juga tidak mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus dan spesies. Tuhan
adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal (Al-Haqqul
Wahid).
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi
al-Kindi adalah Pencipta dan bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat
Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di zaman lampau tetapi punya
permulaan. Karena itulah ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus
yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber
dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu.
3. Falasafat
Jiwa
Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan
tegas tentang roh dan jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai pokok sumber ajaran Islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat ruh karena itu
urusan Allah bukan Manusia. Dengan adanya hal tersebut, kaum filosof Muslim
membahas jiwa berdasarkan pada falsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan
ajaran Islam.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal,
tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting ,
sempurna, dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya
dengan Allah sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari. Jiwa mempunyai
wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat
rohani dan illahi sementara badan mempunyai hawa nafsu dan marah. Dan
perbedaannya jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu
(yang terdapat di perut), daya marah (terdapat di dada), dan daya pikir
(berputar pada kepala).[4]
4. Akal
Dalam jiwa manusia terdapat tiga daya yang telah
disebutkan diatas salah satunya ialah daya berpikir. Daya berpikir itu adalah
akal. Menurut al-Kindi akal dibagi menjadi tiga macam: akal yang bersifat
potensil; akal yang keluar dari sifat potensil dan aktuil; dan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensil tidak bisa mempunyai sifat
aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakannya dari luar. Dan oleh karena
itu bagi al-Kindi ada satu lagi macam akal yang mempunyai wujud di luar roh
manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal tersebut
membuat akal yang bersifat potensil dalam roh manusia menjadi actual.
C. Al-Farabi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih
dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota
Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan
berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo.
Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik
dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar,
memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara
utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang
datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan
mengupas sistem filsafatnya
·
Karya-karyanya
1. Aghradlu
ma Ba’da at-Thabi’ah.
2. Al-Jam’u
baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof-, Maksunyad
Plato danAristoteles).
3. Tahsil
as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4. 4.Uyun
ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5. Ara’yu
Ahl-il Madinah al-Fadilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Negeri Utama).
6. Ih-sha’u
al-Ulum (Statistik Ilmu).
7. Maqolat
fi Ma’any al-Aql
8. Ihsa’
Al Ulum
9. Fushul
Al Hukm
10. Al
Siayat Al Madaniyyat
11. Risalat
Al Aql
·
Pemikirannya
a. Pemaduan
Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya terutama
pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.
Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah
akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika,
ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti
dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui
bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam
realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja.
Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan
menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini,
yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara
kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang
terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya
idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih
dari tiga kemungkinan:
1. Definisi
yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2. Adanya
kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya
terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3. Pengetahuan
tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya
tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara
mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti
ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu,
kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan
kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran
antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab
ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara
hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan
filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
b. Jiwa
Adapun jiwa,
Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa
bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad
merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi
yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal
dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan
tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara
jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan
dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini
tidak hancur dengan hancurnya badan.
c. Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah
tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah
(Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat
tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan
negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh
manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia
dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan
kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut
Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya,
bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ
tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang
lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.
Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki
kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam,
cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks,
cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan,
ketegaran dan keberanian, serta k.esehatan jasmani dan kefasihan berbicara
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua
kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi
yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti
gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh.
Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif
antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal
sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan,
Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi
berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari
pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang
melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah
diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
3. Sufi
A. Junaid Al-Baghdadi
·
Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin
Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang
pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris
al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh
sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat
mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi
fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam
Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid
adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu
membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah
dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam
kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi.
Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di
Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya
Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama
kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini
terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat
tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai
seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam
masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara
lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan
Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna,
meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
·
Karya-karyanya
1. AI-Munajat
2. Shar
Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami
3. Tashih
Ai-lradhah dan Al Rasa’il
4. Dawa
Al-Tafit
·
pemikirannya
Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Tuhan itu Maha
Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaanNya
yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang
terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan.
Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam
keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan.
Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat
dengan nafsu yang ada dalam tibuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah
pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi.
Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu
atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda
dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la
tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu.
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut
Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk
mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat
kemakhlukan yang melekat pada dirinya.
Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu
sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya
memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat
manusia.
Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya
diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat
tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada
persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi
akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya.
Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan kesadarannya
akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan
tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada
pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehencfak
pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.
Seperti dipaparkan oleh AI-Hujwiri soal tasawuf
Al-Junayd ini. bahwa dalarn persatuan yang sesungguhnya (tauhid) tidak akan ada
lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifat-sifat itu tidak tetap,
sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu, Tuhanlah sesungguhnya
yang berbuat. Semua itu sebenarnya sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya
kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi
nama Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik
manusia, tapi sesungguhnya puasa adalah kepunyaan Tuhan.
Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut
Al-Junayd. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan
rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Sctelah kebersatuan
dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus
mengajak urnat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya.
Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme
Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persaluan dengan Tuhan. Paham
persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para
sufi lain di rnasanya dan sesudahny
B. Abdul
Qadir Al Jailani
Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani
(470–561 H) (1077–1166 M) adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh
Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia lahir pada hari
Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M. Selatan Laut Kaspia yang sekarang
menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah
magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada
561 H/1166 M.
Ia adalah orang Kurdi atau orang Persia.Syekh Abdul
Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari
anak benua India. Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal
sebagai Ghaus-e-Azam.
Saat usia 18 tahun, beliau sudah meninggalkan kota
kelahirannya menuju Baghdad, yang saat itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan. Selanjutnya pada tahun 521 H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat hingga beliau
dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai
pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh
besar yang harum namanya dalam dunia Islam.
Sejak itulah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut
sebagai tokoh sufi yang mendirikan Tariqhat Qodariyah, sebuah istilah yang
tidak lain berasal dari namanya. Tariqhat ini terus berkembang dan banyak
diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari
pergerakan Tariqhat ini, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim
lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga se-bagian Afrika dan Asia.
·
Karya-karyanya
1. Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi
al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al-Adab al-Islamiyah.
2. Futuh
al-Ghaib
3. Al-Fath
al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani
4. Jala'
al-Khawathir
5. Sirr
al-Asrar
6. Asror
Al Asror
7. Malfuzhat
8. Khamsata
"Asyara Maktuban
9. Ar
Rasael
10. Ad
Diwaan
11. Sholawat
wal Aurod
12. Yawaqitul
Hikam
13. Jalaa
al khotir
14. Amrul
muhkam
15. Usul
as Sabaa
16. Mukhtasar
ulumuddin
·
Pemikirannya
Pengertian tasawuf menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani
adalah percaya kepada Yang Haq (Allah) dan berperilaku baik kepada makhluk.
Lebih jelasnya tasawuf menurut beliau adalah bertaqwa kepada Allah,
mentaatiNya, menerapkan syari’at, menyelamatkan hati, membaguskan wajah,
melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima suratan takdir, menjaga
kehormatan para guru, bersikap baik dengan saudara, meninggalkan permusuhan,
bersikap lembut, melaksanakan keutamaan, menghindari dari menyimpan harta, dan
tolongmenolong dalam kebaikan baik urusan agama maupun dunia.
Ada 2 hal yang penting berkaitan dengan tasawuf yakni:
pertama; mendidik jiwa, menyucikannya, dan membawanya untuk berakhlak mulia.
Yang kedua; etis dalam pergaulan dengan memberikan hak kepada guru dan saudara,
memberikan nasihat dan ikhlas dalam segala hal serta meninggalkan
permusuhan.
Adapun tasawuf Syekh Abdul Qadir dibangun atas 8
pilar, yakni: dermawan, ridho, sabar, isyarah, mengasingkan diri atau uzlah,
tasawuf, bepergian, dan kefakiran.
Beranjak dari sini banyak anggapan masyarakat, bahwasanya dunia sufi itu
cenderung meninggalkan segala sesuatu yang berbau duniawi. Padahal tidak selalu
demikian. Sebab jika dunia dinilai dapat memperkuat ibadah, maka tidaklah
mengapa mengambil kenikmatan dari dunia.
C. Al-Halajj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain bin
Manshur bin Muhammad al-Baidhawi. Lahir di Baida sebuah kota kecil di wilayah
Persia pada tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad.
Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl
bin Abdullah al-Tasturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan
berguru kepada ‘Amr al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia
memasuki kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu, ia pergi
mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman dalam ilmu tasawwuf. Ia mendapat gelar “al-Hallaj” karena
penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab
di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia
bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut
Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang
penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan
kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota
dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu,
kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan
pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu,
orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti
mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Dalam semua perjalanannya dan pengembaraannya ke
berbagai kawasan Islam seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Makkah,
al-Hallaj telah banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada
tahun 296 H/909 M. Di kota ini, pengikutnya semakin bertambah banyak karena
kecaman kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu.
Secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nasr
al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintahan
yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan
perbaiakan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Pada waktu yang sama, aliran-aliran
keagamaan dan tasawwuf tumbuh dengan subur.
·
Karya-Karyanya
1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal
asmaul kulliyah.
2. Kitab
Al Ushul wal Furu’.
3. Kitab
Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
4. Kitab
Al ‘Adlu wat Tauhid.
5. Kitab
‘Ilmul Baqa dan Fana.
6. Kitab
Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
7. Kitab
“Hua, Hua”.
8. Kitab
At Thawwasin
·
Pemikirannya
Pada dasarnya al Hallaj adalah sama dengan para sufi
lainnya. Ia berusaha mensucikan dirinya dari berbagai hal yang bersifat duniawi
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Proses yang ia jalani pun secara
umum sama, hanya memang untuk sama persis tentu sebuah kemustahilan. Ia
melakukan perjalanan spiritual yang panjang untuk menemukan Sang Kebenaran.
Pergulatannya yang panjang dalam dunia tasawuf sejak masa mudanya tersebut
telah membuatnya berkesimpulan tentang tujuan hidup yang hakiki. Al Hallaj
menjadi sufi yang sangat zuhud. Dalam sejaran dikisahkan bahwa ia menjalankan
ibadah haji yang pertama lebih dari para jamaah haji yang lain. Selama satu
tahun kehidupannya di Makah untuk ibadah haji tersebut, waktunya ia habiskan
untuk berpuasa siang hingga malamnya. Hal tersebut dilakukannya demi mensucikan
dirinya dari ego kemanusiaan atau hawa nafsu keduniaan untuk meraih cinta
sejati kepada Allah SWT . Setelah ibadah hajinya yang ketiga, karakter sufi al
Hallaj semakin tampak. Ia meyakini doktrin yang berbeda dari yang lain, doktrin
inilah yang membuatnya kontroversial dan membuatnya mendapatkan banyak kawan
sekaligus musuh. Ia berprinsip bahwa tujuan akhir dari sebuah pencarian
kebenaran, baik untuk para sufi maupun semua makhluk, adalah bersatu dengan
Tuhan . Dari sanalah al Hallaj mengatakan انا الحق atau “Akulah Kebenaran”.
Dalam doktrin ajaran Islam yang dipahami para ulama’ pada umumnya, al Haq
adalah nama Allah atau Allah itu sendiri. Pengakuannya sebagai al Haq menjadi
ketidaklaziman dan dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang membahayakan
aqidah umat Islam. Itulah kemudian yang menjadi kekhususan al Hallaj
dibandingkan banyak sufi yang lain. Selain doktrin yang demikian populer
tersebut al Hallaj juga berpandangan bahwa seorang sufi tetap memiliki
keharusan untuk memperbaiki masyarakat .
Bagaimana
Al Hallaj sampai memiliki doktrin ini?
Kepastian alasan mengapa al Hallaj demikian memang
tidak ada yang mengetahui. Pengalaman dia bersifat sangat pribadi dan sulit
dipahami serta tidak dapat digeneralisir. Sebagaimana dengan para sufi yang
lain ia menjalani ritual agama dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Seperti
contoh puasa setiap hari selama satu tahun menjalankan ibadah haji di Makah
adalah salah satunya di antara aktifitas peribadatannya yang lain. Hal semacam
ini tentu memberikannya pengalaman tersendiri yang sekali lagi tidak mudah
dipahami. Namun demikian, bagaimanapun al Hallaj adalah manusia biasa yang
kepadanya juga berlaku hukum hukum sunatullah sebagaimana umunya manusia.
Mengutip salah seorang tokoh psikologi William Stern bahwa manusia itu
senantiasa dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan .
Sekedar sebagai perbandingan, sufisme dengan masing
masing tokohnya memang menampilkan wajah spiritual yang menarik namun sulit
dipahami. Katakanlah sosok Rabiah al Adawiyah. Pengalaman batinnya yang tidak
selalu dapat dilalui orang lain membawanya pada kesempurnaan ruhani dengan
kecintaan yang tulus kepada Allah tanpa pamrih apapun. Kisah yang menarik dari
Rabiah adalah ketidakmauannya menikah karena takut mengurangi cintanya kepada
Allah.
Kembali pada al Hallaj, perjalanannya yang panjang dan
bertemu berbagai macam orang sekaligus guru tentu memberikan pengaruh yang
besar disamping kecerdasan dan tekadnya yang besar dalam usaha mensucikan diri
dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Tercatat dalam sejarahnya ia sempat
berguru pada seorang sufi Sahl at-Tustari, seorang sufi yang berani dan
independen. Sahl terkenal sebagai mufassir dan mengamal secara ketat berbagai
tradisi nabi disertai dengan praktek zuhud yang luar biasa, seperti puasa dan
shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari . Selain itu beberapa gurunya
yang lain adalah Amr al-Makki dan gurunya Junaid. Keduanya adalah sufi yang
masyhur di masa itu. Pertemuannya dengan Junaid disebabkan konflik yang terjadi
antara dia dengan gurunya, Amr. Sementara dikemudian hari ia juga berkonflik
dengan Junaid karena perbedaan pandangan mengenai harus tidaknya sufi ikut
memperbaiki masyarakat. Tampaknya al Hallaj adalah seorang yang keras hati,
sehingga ia sering memiliki konflik dengan para gurunya yang akhirnya memutus
hubungan silaturahim mereka. Bahkan tidak hanya dengan gurunya, dengan ayah
mertuanya pun dikisahkan juga memiliki konflik. Deretan konflik inilah yang
barangkali membuat kehidupannya tidak selalu mapan dan sering berpindah pindah.
Sampai suatu saat tercatat Amr al Makki yang pernah menjadi gurunya menyiarkan
berita berita yang menjelekkannya di publik . Mungkin kondisi ini menggoncang
jiwanya, hingga ia melepaskan “jubah” sufinya dan menjalani kehidupan
sebagaimana manusia pada umumnya dengan tetap mensyiarkan ajaran ajaran
spiritual . Pada kondisi ini al Hallaj membangun relasi baru dengan Muhammad
Zakariya ar Razi atau terkenal dengan filosof ar Razi, juga seorang reformer
sosialis bernama Abu Sa’ad al Jannabi serta Hasan bin Ali Ad Tawdi . Selain
dengan mereka, selama ia memisahkan diri dari pergaulan dengan kaum sufi dan
melakukan pengembaraan apostolik ia bertemu dengan banyak guru spiritual dari
berbagai macam tradisi, seperti Zoroastrianisme dan Manicheanisme .
Pergumulannya dengan berbagai macam orang ini akhirnya menemukan titik aliknya
setelah al Hallaj menunaikan ibadah hajinya yang ketiga yang ia lakukan selama
dua tahun. Dia kembali menjadi seorang sufi yang mengenalkan diri dengan Sang
Kebenaran.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa proses pergulatan
spiritual seorang al Hallaj cukup panjang. Kejiwaannya dinamis merespon setiap
kejadian yang menimpanya. Perjalanannya yang penuh konflik dengan para guru dan
mertuanya serta berbagai pengalaman spiritual dalam kezuhudannya bermuara pada
ektase (fana’). Bagaimanapun, corak keagamaan al Hallaj yang menjadi sufi
“Kebenaran” tidak dapat dilepaskan dengan para gurunya. Sudah barang tentu mereka
memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan spiritualitasnya.
Disamping itu perjumpaannya dengan berbagai pemikiran lain dari para filosof,
tokoh agama lain dan berbagai kejadian membuat dirinya memilih jalan sufisme
yang “sempurna”, dengan bukti ia merasa mampu menyatu dengan Tuhannya.
4. Fuqaha
A. Sa’id
bin Al-Musayyib
·
Biografi
Said bin Al-Musayyib(pembesar para Tabi'in). Namanya
adalah Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb Ibnu Amr bin A’id bin Imran
bin Makhzum Al-Qurasy Al-Makhzumi Al-Madani. Nama panggilannya adalah Abu
Muhammad. Beliau adalah pembesar para tabi’in. yang sezaman dengan para sahabat
Rasulullah seperti: Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abu Hurairah, sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah ridhwanullah ‘alayhim ajma’in.
Beliau juga perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu sehingga beliau pun menikahkan Said dgn putrinya.
Said Bin Al Musayyib dikenal sebagai seorang yang tak
pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tak pernah
melihat punggung orang orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan
terdepan. Beliau juga seorang yang tegas dan tak mau tunduk dengan kemauan para
penguasa. Namun beliau tetaplah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa
persaudaraan dalam pergaulan terutama dgn orang orang yang shalih dan bertaqwa.
Banyak sanjungan dan pujian terlontar kepada beliau mengenai wawasan,
kehormatan dan kemuliaan beliau.
·
Karya-karyanya
Sa’id
bin Musayyib meriwayatkan hadits-hadits secara mursal dari Rasulullah
·
Pemikirannya
Ketakutan
Beliau Akan Fitnah Wanita
Dari Ali bin Zaid dari Said bi Al-Musayyib, dia
berkata, “Tidak ada yang lebih mudah bagi setan untuk menggoda kecuali melalui
perempuan.” Kemudian, Said berkata “Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan
daripada perempuan.” Padahal saat itu umurnya sudah lanjut, tua renta dan salah
satu penglihatannya telah buta sedangkan yang tersisa pun sudah kabur
penglihatannya karena rabun.
Dari Imran bin Abdul Malik, dia berkata, “Said bin
Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah merasa takut kepada sesuatu pun seperti
ketakutanku pada wanita.” Orang orang yang mendengarnya selanjutnya mengatakan,
“Sesungguhnya orang seperti Anda tidak pernah menginginkan wanita (untuk
dinikahi) dan tidak ada wanita yang mau mengawini anda,” Dia berkata, “Memang
itulah yang aku katakan kepada kalian.”
Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang
lebih berbahaya bagi laki laki (melainkan fitnah yang datang dari) wanita.”
Dikeluarkan oleh Bukhari (9/5096); Muslim (4/2097), Ibnu Majah (3998) dan
At-Tirmidzi (2780) dan dia berkata: “Hadits Hasan Shahih”
Demikianlah Said bin Al Musayyib. Bagaimana dengan
para pemuda saat ini yang dikaruniai penglihatan sempurna, dan menemukan wanita
wanita yang bahkan belum pernah ada di zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam
bebas berkeliaran di jalan jalan, sedangkan setan la’natullah ‘alayh menghiasi
pandangan mereka terhadap wanita wanita tersebut?..
Hendaklah
mereka takut akan apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alayhi wasallam. Hendaknya mereka khawatir diri mereka akan terjatuh kepada
fitnah terbesar bagi kaum adam umat ini. Fitnah Wanita.
B. Al-Qasim
Bin Muhammad
Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ( wafat k. 106
H/724-725 M) adalah seorang ulama dari golongan tabi'in, dan ahli fiqih ternama
yang termasuk dalam Tujuh Fuqaha Madinah. Al-Qasim adalah cucu dari sahabat
Nabi Abu Bakar ash-Shiddiq. Ayahnya adalah Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan
ibunya salah seorang dari putri Yazdegerd III, penguasa terakhir Kekaisaran
Persia Sassania yang ditaklukkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.[4]
Ayahnya Al-Qasim meninggal saat ia berusia tujuh tahun, dan ia dibesarkan oleh
bibinya Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar.
Al-Qasim dan sepupunya Urwah bin Zubair mempelajari
berbagai ilmu dari bibi mereka Aisyah, yaitu bahasa Arab, fiqih Islam dari
al-Qur’an, aqidah, syariah, hadits Nabi, dan lain-lain. Al-Qasim juga menuntut
ilmu dari para sahabat terkenal lainnya, seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah
bin Umar, serta Abu Hurairah.
Al-Qasim meriwayatkan hadits dari ayahnya (yakni
Muhammad bin Abi Bakr), ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair, Ibnu
‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Abdullah bin Ja’far, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Khabbab,
Mu’awiyah, Rafi’ bin Khadij, Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma-, Fathimah bintu Qais, dan yang lainnya.
Dan adapun para muhadditsun yang meriwayatkan dari
beliau di antaranya adalah anaknya sendiri (yakni ‘Abdurrahman), Asy-Sya’bi,
Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Ibnu Abi Mulaikah,
Nafi’ maula Ibni ‘Umar, Az-Zuhri, Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu ‘Aun, Rabi’ah, Abu
Az-Zinad, dan masih banyak lagi.
Beliau adalah seorang tabi’in yang amanah. Wajar jika
kemudian ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil,
tertarik akan keamanahannya. Ia berkata: “Seandainya aku punya sedikit
kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.”
Al-Qasim
kecil sabar menjalani takdir Allah ‘azza wajalla sebagai anak yatim dalam
tarbiyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Menurut ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, beliau adalah
cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq yang paling mirip dengan kakeknya.
C. Urwah
bin Az-Zubair
Urwah bin Az-Zubair adalah seorang tabi’in yang mulia,
satu dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (tujuh tokoh fuqaha’ /ulama) yang masyhur dalam
sejarah kaum muslimin, panutan umat. Beliau dikenal dengan kesabarannya yang
tinggi saat kakinya diamputasi karena penyakit.
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin
Az-Zubair bin Al-’Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin
Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani, dilahirkan pada tahun ke-23 Hijriyyah pada
masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan di kota Madinah, Putra dari Az-Zubair bin
Al-’Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma.
Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair
radhiyallahu ‘anhuma. Bibi beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda
kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu
dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga
tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang
paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada
posisi thabaqah yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabi’in
.
5. Pembaharu
Dalam Islam
A. Jamaluddin
al-Afghani
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afgani as-Sayid
Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun ia lebih dikenal dengan Jamaluddin
al-Afgani. Ia merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis
terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan
agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik
melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran
kaum muslimin gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam,
al-Afgani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran
dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20.
Dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan
pada tahun 1838, al-Afgani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah
SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang
nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadis yang
masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain
bin Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa
kecil dan remajanya, ia habiskan di Afganistan. Namun ketika beranjak dewasa,
ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan
Prancis.
Pendidikan dasar ia peroleh di tanah kelahirannya.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa.
Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Kabul dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari
ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Ia tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah,
matematika, fil-safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Ketika berada di Kabul,
sampai umur 18 tahun, ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping
filsafat dan ilmu eksakta.
·
Pemikirannya
1. Islam
adalah agama yang sesuai dengan segala keadaan dan waktu. Islam merupakan agama
yang mengajarkan dinamisme dalam berfikir dan berperilaku yang sesuai dengan
ajaran Islam.
2. Islam
bukanlah agama yang mengajarkan faham fatalis dan statis
3. Qadla
dan Qadar Allah sesungguhnya merupakan sesuatu yang terjadi karena sebab
musabab, bukan semata-mata langsung dari
Tuhan. Artinya, bahwa manusia bisa menentukan taqdirnya sendiri melalui usaha
yang maksimal.
4. Lemahnya
persaudaraan di kalangan umat Islam juga menyebabkan umat Islam mundur, dari
kalangan awam sampai ulama hingga raja tidak ada lagi rasa persaudaraan,
sehingga umat Islam lemah tidak memilki kekuatan untuk maju bersama.
5. Sistem
pemerintahan otokrasi harus diganti dengan demokrasi yang berdasarkan
musyawarah.
6. Umat
Islam di setiap Negara harus membangun semangat nasionalisme dan
internasionalisme agar umat Islam dapat bersatu. Hanya dengan persatuan umat
Islamlah, Islam dapat berkembang dan maju, tetapi tanpa persatuan di kalangan
umat Islam mustahillah kemajuan dapat diraih.
B. Mustafa
Kemal
Mustafa lahir pada di Salonika (Turki) pada tahun 1881
M. Ia diberikan gelar Attartuk yang artinya Bapak Turki. Gelar itu diperoleh
karena ia telah menyelamatkan bangsa Turki dari penjajahan Barat yaitu, Yunani
yang dibantu oleh tentara sekutu (Inggeris, Perancis dan Amerika), yang
mendarat di Turki pada tanggal 15 Mei 1919 M.
Kelahiran Mustafa Kemal merupakan kebangkitan baru
bagi bangsa Turki untuk mengusir penjajah dari bumi Turki. Di samping itu ia
telah mengembalikan kejayaan bagi
Kerajaan Turki Usmani yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid
II. Abdul Hamid II adalah sosok sultan
yang diktator, namun kekuasaannya tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi
kemajuan bagi bangsa Turki, sebab ia hanyalah boneka yang merupakan tangan
panjang penjajah bangsa Barat.
Untuk melawan Sultan Abdul Hamid II, ia bersama dengan
teman-temannya( Ali Fuad, Rauf, dan Refat), mendirikan perkumpulan rahasia yang
bernama Vatan ve Hurriyet yang berarti : Tanah Air dan Kemerdekan. Perkumpulan
ini merupakan cikal bakal lahirnya Partai Nasionalis di Turki.
·
Pergerakan dan Pemikirannya.
a. Pergerakan
Mustafa Kemal
Setelah Mustafa Kemal menjadi seorang pemimpin dalam Partai
Nasionalis Turki, untuk melawan Sultan Abdul Hamid II, ia mendirikan Pemerintah
Tandingan di Anatolia. Ia dan kawan-kawan mengeluarkan maklumat yang berisi
tentang pernyataan-pernyataan sebagai berikut :
1. Kemerdekaan
Tanah Air dalam keadaan bahaya
2. Pemerintah
di ibu kota berada di bawah kekuasaan
sekutu dan oleh karena itu tidak dapat
menjalankan tugas.
3. Rakyat
Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing.
4. Gerakan-gerakan
pembela tanah air yang telah ada harus dikordinir oleh suatu panitia nasional
pusat.
5. Untuk
itu harus diadakan konggres.
Atas usaha Mustafa Kemal dan
teman-temannya itu dapat dibentuk Majlis Nasional Agung di tahun 1920. Dalam
sidang di Ankara yang sekarang menjadi ibu kota Republik Turki ia dipilih
sebagai Ketua. Dalam siding itu diputuskan hal-hal sebagai berikut :
Kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat Turki,
bukan lagi di tangan sultan. Majlis Nasional Agung merupakan perwakilan rakyat
tertinggi. Majlis Agung Nasional bertugas sebagai badan legislatif dan
eksekutif.Majlis Negara yang anggotanya dipilih dari Majlis Agung Nasional akan
menjalankan tugas pemerintah. Ketua Majlis Agung Nasional merangkap jabatan Ketua Majlis
Negara.
Demikianlah, Mustafa Kemal dan teman-temannya dari
golongan nasionalis bergerak terus dan dengan perlahan-lahan dapat menguasai
situasi, sehingga akhirnya Sekutu terpaksa mengakui mereka sebagai penguasa de
facto dan dejure di Turki. Pada tanggal 23 Jui 1923 ditanda tangani Perjanjian
Lausanue, dan pemerintahan Mustafa Kemal mendapat pengakuan Internasional..
·
Pemikiran-pemikirannya.
Dalam pemikiran tentang pembaharuan Mustafa Kemal
dipengaruhi bukan oleh ide nasionalisme Turki saja, tetapi juga oleh ide
golongan Barat. Turki dapat maju hanya dengan meniru Barat. Setelah perjuangan
kemerdekaan selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru mulai, yaitu
perjuangan untuk memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di Turki. Peradaban
Barat akan diambil bukan hanya sebagian, tetapi dalam keseluruhannya.
Di
antara pemikiran-pemikirannya adalah :
1. Perlu
dihapuskannya jabatan Khalifah diganti dengan jabatan Presiden yang dipilih
oleh rakyat.
2. Negara
tidak ada lagi hubungannya dengan agama.
Sembilan tahun kemudian, yaitu setelah prinsip
sekulerisme dimasukkan ke dalam Konstitusi di tahun 1937, barulah Republik
Turki dengan resmi menjadi Negara sekuler.
C. Muhammad
Iqbal
Muhammad Iqbal
adalah The founding father of Pakistan (Bapak pendiri Pakistan), seorang
filosof serta penyair. Ia berasal dari
keluarga golongan menengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada tahun 1876.
Untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar di sana sampai
ia memperoleh gelar kesarjanaan MA. Di
kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang Orientalis, yang menurut
keterangan, mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Di tahun
1905 ia pergi ke Negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk
mempelajari filsafat, Dua tahun kemudian dia pindah ke Munich di Jerman, dan di
sinilah ia memperoleh gelar Ph.D (Philosophy of Doctor) dalam tasawuf. Tesis doctoral yang dimajukannya berjudul :
The Development of Metaphyscs in Persia.
Pada tahun 1908 ia berada kembali di Lahore dan di
samping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen falsafat. Bukunya The
Reconstruction of Religius Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa universitas di India.
·
Pemikiran-pemikirannya
1. Bidang
agama
a. Ajaran
Islam itu bersifat dinamis tidak statis. Dalam Islam ada ungkapan : “ Al- Islam
shalih li kulli zaman wa makan” (Islam itu fleksibel dalam sitiuasi dan kondisi
apapun).
b. Barat
maju karena pemikiran Barat selalu dinamis, tidak pernah berhenti. Barat sangat
cinta ilmu pengetahuan dan senantiasa berijtihad (mengadakan research/penelitian).
c. Umat
Islam agar senantiasa menciptakan ide-ide baru dalam dunia baru, tidak boleh
pasrah terhadap keadaaan dan tidak boleh lama-lama tidur. Umat Islam harus
bangkit dari tidurnya. Dalam pandangan Iqbal, bahwa orang kafir yang aktif
lebih baik dari pada muslim yang suka tidur. (pemikirannya serta malas usaha).
2. Bidang
Politik :
a. Umat
Islam bisa maju harus hidup dalam satu ikatan umatan wahidah, yaitu adanya
Pemimpin Islam dunia untuk menyatukan umat Islam.
b. Iqbal
menolak nasionalisme Barat yang membuat umat Islam terpecah-pecah menjadi
negara –negara kecil. Negara boleh beda, tetapi bangsa tetap satu yaitu umat
Islam.
c. Iqbal
menolak kapitalisme dan imperialisme
Barat yang menyengsarakan
bangsa-bangsa, sebaliknya Iqbal lebih tertarik sosialisme yang berkembang di
Barat, sebab sosialisme identik bahkan sebagian dari ajaran Islam.
d. Nasionalisme
yang berkembang di India yang terdiri dari dua kekuatan yaitu Islam dan Hindu
ia setuju, tetapi sulit untuk diwujudkan. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa
umat Islam di India harus memilih antara tetap hidup di India dengan tetap
menjadi kaum minoritas, atau memisahkan diri dari India dengan memiliki Negara
dan kekuasaan sendiri. (ini merupakan embrio kelahiran Negara Pakistan).