DIY
Gamelan
sebagai penarik masyarakat Jogja memasuki masjid pada zaman Sri Sultan
Hamengkubuono pada kesultanan Yogjakarta. Dari situlah para masyarakat zaman
dahulu tertarik untuk mendatangi masjid. Pada kesempatan tersebut, di masjid
juga diadakan majlis ta’lim sehingga masyarakat yang sudah ke masjid mau tidak
mau mendengar dan akhirnya timbul rasa penasaran. Dari situlah islam bisa
memasuki celah masyarakat Jogja yang notabene adalah sebagian besar pemeluk
agama Hindu dan Budha pada masa itu.
DEMAK
Sekaten adalah cara syiar agama
islam melalui kirab budaya warisan dari Kerajaan Demak. Sekaten sendiri berasal
dari kata syahadatain, yang artinya dua kalimat syahadat. Pada hari pertama,
upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa
kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa
Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa
Ponconiti menuju masjid Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton.
Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari Masjid
Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan
masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan
tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir,
kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton. Acara puncak peringatan
Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12
(persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW)
mulai jam 08.00 hingga 10.00 WIB. Dengan dikawal oleh 10 macam bregada
(kompi) prajurit Kraton:
Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung,
Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis. Sebuah gunungan yang terbuat dari
beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari
istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung.
Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram
ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini
akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan
dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan
bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
SEMARANG
Wayang
adalah warisan dari Sunan Kalijaga, salah satu senjata terampuh para wayang
adalah Jimat Kalimosodo. Kalimosodo berarti KALIMAT SYAHADAT. Yang dengan
sengaja menyelipkan unsur islam di dalamnya. Berdasarkan buku Minanur Rahman
dan Arabic The Source Of All The Langguages yang menyatakan bahwa bahasa Arab
itu merupakan induk semua bahasa. Dengan demikian, berdasarkan teori itu
kemungkinan penamaan Wayang itu diambil dari kata “wachyan” artinya
wahyu/firman Tuhan.
Jadi, nama
figur dan kisah dalam Ramayana dan Maha Barata itu pada mulanya berasal dari
wahyu Ilahi. Sedangkan Dalang, yang memainkan wayang tersebut berasal dari kata
Arab “Dallan” artinya penuntun atau penunjuk jalan. Jadi, Dalang itu adalah
orang yang mempertunjukan kisah tentang wayang yang bernuansa petunjuk-petunjuk
Tuhan untuk manusia, baik dalam urusan pribadi, keluarga, pemerintahan, Negara,
hubungan internasional, peperangan dan sebagainya. Ada juga kerajaan antagonis
yaitu Astina (Asysayithon) dengan penguasanya Duryudana (Durjana) yang selalu
bersikap jahat seperti syaithan.
Tokoh
punakawan yang menjadi figur penasehat yang senantiasa memberikan pencerahan
dalam cerita wayang juga memiliki makna yang begitu mendalam dan sarat makna.
Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng Petruk dan Bagong ada kemungkinan
berasal dari kata Semar/Sammir berarti siap sedia, Gareng/Khair berarti
kebaikan/kebagusan, Petruk/Fatruk berarti meninggalkan, sedangkan Bagong/Bagho
artinya lalim atau kejelekan “Sammir Ilal Khairi Fatruk Minal Bagho” yang
artinya“Berangkatlah menuju kebaikan maka kamu akan meninggalkan kejelekan”.
Ini juga selaras dengan perintah Allah SWT supaya “amar ma’ruf nahi munkar”
yaitu “Mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan buruk”.
Dalam cerita
Maha Barata yang mencerita kisah keturunan Pandu Dewanata yang dikenal dengan
Pandawa juga sangat lekat dengan tuntunan ajaran Islam. Pandawa yang terdiri
dari lima bersaudara Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa,
mengisyaratkan kepada Lima Rukun Islam. Sedang tokoh kontranya adalah bala
Kurawa dan Astina yang selalu membuat kemudhorotan. Dalam pementasan wayang,
sang dalang juga selalu menempatkan mereka pada posisi yang berseberangan,
dimana tokoh Pandawa berada dikanan sebagai lambang kebaikan, sedang
Kurawa/Astina selalu di kiri sebagai lambang keburukan.